Minggu, 03 Februari 2013

Mengenal Hidup

Hidup itu Gaib, maka tidak bisa dikenali dengan perabot pada diri kita, yang bersifat ragawi (materiil). Jadi, tidak bisa ditangkap oleh Panca Indera kita, keberadaannya (eksistensinya).
Telah diuraikan di depan, bahwa Hidup itu kuasanya Gerak, letaknya (“lungguhe”) berada di Rasa. Jadi hanya bisa dirasakan.
Yang dimaksud dengan Rasa dalam buku ini, bukan rasa yang merupakan salah satu indera dari panca indera, sense, tetapi Rasa yang ada di dalam diri kita, feeling.
Kita semua merasa, sebagai Orang Hidup. Dan kita pasti mengakui, bahwa kalau ditinggalkan Hidup, kita mati. Dan kalau kita Mati, semua yang ada pada diri kita, kepandaian, pengalaman, kehebatan, derajat-pangkat, kehormatan, kedudukan sosial, harta-benda, bahkan orang orang yang kita cintai, semua tidak berarti lagi. Semua tidak punya nilai lagi bagi kita.
Semasa masih hidup, kita bisa seperti sekarang ini karena dalam diri kita masih ada Hidup (“Isih kalenggahan Urip”).
Penulis bisa menulis buku ini, karena ada Hidup dalam dirinya. Pembaca bisa membaca ini, karena ada Hidup dalam diri pembaca.
Maka, marilah kita akui keberadaan Hidup itu, dan dengan jujur kita akui pula betapa sangat pentingnya peranan Sang Hidup itu pada diri kita.
Marilah kita berhenti memperbudak Hidup, dan kita mulai menjadikan diri kita sebagai Abdhinya Hidup.
Siapa yang harus mengakui keberadaan dan peran Hidup itu ? Kita masing masing. Siapa diri kita itu? Tujuh Lapis Raga kita, dengan segala kerjanya.
Marilah, 7 (tujuh) lapis raga kita, seluruhnya kita ajak untuk mengakui keberadaan dan peranan Hidup atas diri kita. Kita ajak seluruh 7 (tujuh) lapis raga kita untuk tunduk dan menjadi abdhinya Hidup, agar setiap saat, raga kita itu diselamatkan dari hal hal dan perbuatan yang dikemudian hari bisa membuat kita tidak bahagia dan tidak bisa langsung kembali ke asal kita.
Karena hidup itu Gaib, maka untuk mengenalnya memerlukan Sarana yang bersifat Gaib pula.
Seluruhnya ada 5 (lima) sarana gaib, yang didapat Romo Herucokro Semono dari lakunya yang 41 tahun (1914 -1955). Maka, disebut Panca Gaib.
Sarana Gaib I, disebut K U N C I
Ini, gunanya, untuk memberikan bukti kepada diri kita masing masing, bahwa hidup itu memang ada dalam diri kita.
Yang dimaksud bukti, adalah bahwa diri kita masing masing, dengan menggunakan “Kunci” itu, tidak hanya percaya bahwa dalam diri kita ada Hidup, tetapi membuktikan, merasakan sendiri.
Dan kalau “Kunci” itu dihayati sungguh sungguh, diri kita masing masing akan diberi bukti tidak hanya tentang keberadaan Hidup, tetapi juga bagaimana bekerja dan kuasanya Hidup itu, atas kehidupan dan penghidupan kita sehari-hari.
Mohon perhatian :
Jangan tergesa-gesa. Pertimbangkan, renungkan dulu masak masak.
Benarkah kita memang ingin hidup Bahagia Sejati (Tentram), agar bisa selanjutya mencapai kasampurnan jati ?
Kalau kita tidak yakin, bahwa segala sesuatu itu Tuhan yang menentukan, dan yang terbaik itu apabila sesuai dengan kehendak Tuhan atas diri kita, maka seyogyanya jangan dulu mengenal Hidup, apalagi menggunakan Kunci Hidup itu.
Kalau kita yakin bahwa Tuhan yang menentukan segalanya, dan yang terbaik bagi diri kita adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bolehlah dilanjutkan.
Kalau belum yakin, bukannya tidak boleh, tetapi nantinya pasti akan dan ditinggalkan lagi, kehendak dan jalannya Hidup, yang sebenarnya merupakan kehendak dan jalan yang dikehendaki Tuhan bagi diri kita.
“ KUNCI “
Dalam menjalani Laku selama 41 tahun, Romo Semono menghabiskan waktu 25 tahun hanya untuk melengkapkan “Kunci” saja.
Tiap saat beliau hanya dapat satu huruf. Beberapa saat lagi, baru satu huruf lagi. 25 tahun baru huruf huruf yang beliau dapat itu lengkap, menjadi “Kunci”.
Jadi, “Kunci” itu bukan merupakan buah hasil pikiran Romo Semono.
Maka, kalau satu suku kata saja berubah, sudah bukan “Kunci” Hidup lagi, dan tidak akan ada gunanya.
Oleh karena itu, sampai saat ini, semua yang menghayati Laku Kasampurnan ini, apapun suku, bangsa dan bahasanya, dalam menggunakan Panca Gaib, diantaranya “Kunci”, harus tepat seperti apa adanya.
Tidak perlu, artinya tidak ada gunanya, kata kata dalam “Kunci” diartikan. Hal ini justru hanya akan mempersulit dan menghambat penghayatan kita. Apalagi diterjemahkan.
“Kunci” itu berupa kata kata, hanya disebabkan karena Romo Semono yang menerima, diwajibkan meneruskan kepada sesama manusia, yang menghendaki.
Sebenarnya “Kunci” itu Gaib. Kalau tanpa disertai kata kata kita tidak mampu menerimanya.
Tidak perlu dipikirkan arti dari kata-katanya.
Romo Herucokro Semono sendiri pernah menegaskan :
“ Kunci iku dhudhu unine, dhudu unen-unene, nanging kang mahanani uni” (Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan adanya bunyi).
Bahkan Romo Herucokro Semono pernah pula menyatakan :
“Upomo Kunci iku kudhu kaparingake marang wedus, mbokmenowo unine embek.” (Seandainya Kunci itu harus diberikan kepada kambing, barangkali bunyinya embek).
Kata-kata “Kunci” :
Gusti ingkang Moho Suci,
Kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito,
nyuwun wicaksono, nyuwun panguwoso,
kangge tumindhake satriyo/wanito sejati;
Kulo nyuwun, kangge anyirnakake tumindhak ingkang luput.
Catatan :
Agar tidak terjadi salah faham :
Kata kata Sirolah, Dhatolah, Sipatolah, olah-nya dari kata seperti olah – olah, olah – rogo, dan semacamnya yang artinya “obah” atau gerak.
“Anyirnakake tumindhak ingkang luput”, maksudnya “lupute dewe”, salah pada diri sendiri.
Ada yang menggunakan :
“hanyirnakake”,
Boleh saja, silahkan dicoba, mana yang dirasakan lebih pas/cocok, bagi dirinya masing masing.
Lain-lainnya, satu suku kata saja, tidak boleh berubah.
Bahkan orang orang asing, lafalnyapun harus benar.
Tidak boleh di sini, artinya, kalau berubah, tidak ada gunanya sama sekali, karena sudah bukan “Kunci” lagi.
Kata “satriyo” digunakan oleh Pria dan kata “wanito” digunakan oleh Wanita.
Menggunakan “KUNCI”
Sering digunakan istilah “salah kaprah”, Membaca Kunci (Moco Kunci). Maksudnya bukan membaca dalam arti harfiah (leterlijk).
A. Dihafalkan dulu, kata-katanya, sampai hafal betul dan betul pula lafalnya.
B. Kalau sudah hafal, lakukan sebagai berikut :
1. Duduk sesantai mungkin, sampai seluruh otot terasa lemas, lepas, napas sudah teratur, tidak memikirkan bernafas lagi.
2. Niat untuk menggunakan “Kunci”
3. Kedua mata terpejam rapat.
4. Tunggu sampai kedua lengan dan tangan bergerak sendiri, bersikap menyembah (patrap Kunci) – lihat gambar 1.
5. Ucapkan dalam Rasa, kata kata “Kunci”
Selanjutnya, apapun yang dirasakan, termasuk kalau lengan dan tangan bergerak sendiri, ikuti saja. Tidak perlu takut sama sekali. Tidak akan terjadi apapun, yang tidak baik.
Semua itu merupakan tanda, merupakan bukti, bahwa hidup itu benar benar ada dalam diri kita dan bisa kita rasakan sendiri, kita buktikan sendiri keberadaannya.
Latihlah terus, di saat saat senggang. Lama lama kita akan hafal betul, bagaimana rasanya, kalau kita menggunakan “Kunci” Hidup itu.
Kapan menggunakan “KUNCI”
“Tangi turu gregah Kunci, arep turu Kunci, ono opo-opo Kunci, ora ono opo-opo Kunci” (Bangun tidur segera Kunci, mau tidur Kunci, ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci).
Jadi, yang wajib dilakukan adalah begitu bangun tidur, sebelum berbuat apapun, Kunci, dan saat mau tidur, Kunci.
Bangun tidur Kunci, maksudnya, agar sepanjang hari, kita dilindungi oleh Hidup. Dilindungi oleh Hidup, maksudnya agar kita dihindarkan dari berbuat salah, juga perbuatan salah terhadap diri kita, dihindarkan oleh Hidup.
Contoh :
Dalam rangka Penulis momong kadhang-kadhangnya selama bertahun-tahun, kalau ada kadhang kecopetan, pasti karena lupa Kunci. Belum pernah Penulis alami, ada kadhang yang tidak lupa Kunci, kecopetan di jalan.
Mau tidur Kunci. Maksudnya, agar sekalipun kita tidur, jadi raga sudah tidak ingat apa apa dan tidak bisa apa apa, Hidup selalu menjaga.
Contoh :
Tidak sedikit kadhang yang mengalami, kalau ada sesuatu, sekalipun tertidur pulas, serasa ada yang membangunkan. Dan kemudian ternyata, bangunnya itu memang berguna.
Ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci.
Di manapun kita berada, dalam keadaan apapun, dari pada melamun, atau berfikir yang tidak tidak, lebih baik digunakan untuk “membaca” Kunci dalam rasa. Tentu saja, tidak perlu “patrap Kunci”, yaitu bersikap menyembah seperti dalam Gambar 1.
Sikapnya, disesuaikan situasi dan kondisi kita saat itu.
Pengalaman,
Banyak sekali kadhang yang mengalami, dengan tidak lupa Kunci, Hidup menghindarkan dirinya dari melapetaka, kecelakaan, musibah, atau kejadian yang tidak mengenakkan. Tahunya setelah terjadi.
Mendapatkan “KUNCI”
Telah kita ketahui, kata kata “Kunci”, dari membaca tulisan di depan.
Kalau menggunakan “Kunci” dari menghafal tulisan itu, bisa, tetapi sampai bisa benar benar merasakan dayanya “Kunci” dan membuktikan pula kerjanya Hidup, karena menggunakan “Kunci”, sebaiknya, mintalah “Kunci” itu kepada salah seorang yang sudah lebih dulu menghayati Laku Kasampurnan.
Nantinya, yang memberikan bukan manusianya, tetapi Hidup memberikan kepada Hidup. Jadi dari Gaib kepada Gaib, yang diberikan, “Kunci” itu, juga Gaib.
PENGHAYATANNYA
Sesudah kita menggunakan “Kunci”, sebenarnya 7 (tujuh) lapis raga kita, jadi kita manusianya, menyembah kepada Hidup. Kita berjanji, akan menjadi Abdinya Hidup. Sembah kita kepada Hidup, akan diteruskan kepada Hidup yang menghidupi alam semesta seisinya, Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, kita memulai suatu penghayatan, yang sekaligus Pengalaman suatu laku, yaitu yang disebut Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, atau secara umum juga dikenal sebagai Penghayatan Kapribaden.
Agar tidak salah faham, laku ini adalah sebagai berikut :
Bisa dijalani (dihayati dan diamalkan) atau “dhilakoni” oleh anak umur 3 tahun. Asal sudah bisa menghafal “Kunci”, sudah bisa menghayati dan mengamalkan laku ini.
Bahkan Sarana Gaib ini, sudah bisa diberikan kepada bayi yang baru lahir. Penghayatan ini, tidak mengenal keharusan “tirakat”, “melekan”, berpuasa “ngebleng”, “kumkum” (berendam di air), meditasi dan sebagainya.
Inti Penghayatannya adalah :
Selalu tidak lupa kepada Hidup lalu selalu minta prtunjuk Hidup sebelum melakukan apapun dan mengikuti segala petunjuk Hidup, sekalipun bertentangan dengan keinginan dan kehendak kita semula.
Karena Guru Sejatinya Hidup kita sendiri, maka Guru Sejati itu yang paling tahu atas diri kita, dan Guru Sejati itu yang tahu apa sebenarnya kehendak Tuhan atas diri kita, dan bagaimana seharusnya melaksanakan semua itu. Guru Sejati itu akan selalu menyesuaikan dengan keadaan kita, kalau kita masih umur sekolah Taman Kanak kanak, maka Guru Sejati itu akan jadi Guru Taman Kanak kanak. Bagi yang sudah dewasa, Guru Sejati akan jadi Dosen atau maha Guru-nya.
Guru Sejati, dalam memberikan tuntunan berupa petunjuk kepada kita, sesuai dengan nasib yang kita alami, kita jalani dan kita hadapi serta kita kerjakan masing masing.
Maka, tidak ada 2 orang yang petunjuknya Hidup sama. Cap jari 2 orang Saudara kembarpun, tidak sama.
Laku kita sama, yaitu sama sama mengikuti Hidup, tetapi Lakon kita berbeda satu sama lain.
Petunjuk Hidup, diberikan sesuai lakonnya masing masing, tetapi intinya sama, yaitu agar tidak menyimpang dari jalan yang dikehendaki Tuhan atas diri kita masing masing.
Penghayatan ini, sedikitpun tidak menyuruh orang meninggalkan hal hal yang bersifat duniawi. Jadi, dalam menjalani kehidupan dan penghidupan, malahan harus wajar, harus biasa saja.
Kesenangan duniawipun, boleh dirasakan, dinikmati. Tetapi kita akan selalu dituntun, kesenangan yang bagaimana yang tepat untuk diri kita. Jadi kita terhindar dari menikmati kesenangan, yang kemudian berakibat kesedihan atau kesengsaraan.
Yang memang ditakdirkan harus kaya, juga boleh, tetapi akan selalu dituntun, agar kekayaan yang didapat sekarang ini, tidak mencelakakan atau menyengsarakan di kemudian hari. Termasuk tidak akan mencelakakan atau menyengsarakan anak cucu.
Memiliki kekuasaan (tentu saja sementara), juga boleh. Akan dituntun, agar jangan salah menggunakan kekuasaan itu. Sehingga hasilnya akan lebih kekal, karena sesuai yang dikehendaki Tuhan.
Yang ingin cukup, juga boleh, artinya selalu ter-cukup-i, segala yang dibutuhkan. Bukan yang diinginkan.
Semua itu, bukan kita yang menentukan, tetapi setelah kita terima, kita tidak akan berjalan salah-arah, dengan apa yang ada pada diri kita.
Kepandaian, kemampuan, kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain yang ada pada diri kita, akan selalu digunakan oleh Hidup, dengan perantaraan diri kita, untuk hal hal yang dikehendaki Pemilik dari semua itu, yaitu Tuhan sendiri.
Hidup itu sama, sebenarnya Satu, (Urip iku podo, sejatine Siji).
Maka, kalau Penghayatan ini, dihayati dan diamalkan (“dhilakoni”) oleh seluruh anggota keluarga, kita akan merasakan hasilnya.
Rasa anggota keluarga yang satu selalu berhubungan dengan rasa anggota keluarga yang lain. Sambung rasa setiap saat.
Karena itu, keluarga akan selalu dalam suatu kesatuan yang kokoh-erat, harmonis, penuh diliputi Rasa Bahagia yang sejati.
Manusia, terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Manusia terbatas kemampuan akal-pikirannya.
Hidup tidak mengenal keterbatasan keterbatasan itu. Hidup bisa melakukan, mengatur apa saja, yang akal manusia tidak sampai, dan bahkan menurut akal manusia dikatakan tidak mungkin.
Manusia menyebut mujijat, atas kejadian kejadian yang akalnya tidak sampai. Bagi Hidup, tidak ada mujijat.
Para Penghayat Kapribaden telah banyak membuktikan, sesuai lakonnya masing masing, terjadinya hal hal yang tidak masuk akal, tetapi benar benar terjadi. Dan semuanya pasti baik dan benar, serta membuat tentram (bahagia) si Penghayat.
Pembuktian pembuktian (“paseksen”) itu, diberikan oleh Hidup, agar Manusianya, makin lama makin yakin akan kuasanya Hidup.
Kelanjutannya
Bagaimana?
Apakah setelah membaca uraian di depan itu, masih ingin dan masih berniat untuk menjalani Laku ini, dengan tujuan Hidup tenteram (Bahagia) di dunia dan akhirnya bisa Manunggal dengan Yang Maha Suci ?
Pertimbangkan dulu masak masak.
Di dunia ini, ditawarkan ribuan macam cara dan jalan bagi manusia dalam menjalani kehidupan dan penghidupan.
Termasuk diantaranya, faham yang mengatakan, hidup di dunia cuma sekali. Raih kesenangan dan kenikmatan sebanyak-banyaknya, masa bodoh nantinya.
Laku ini, tidak menakut-nakuti orang, agar orang mau begini atau begitu. Juga tidak menjanjikan sesuatu (“ngiming-iming”) agar orang melakukan ini dan itu. Apapun yang dikerjakan Penghayatnya, adalah atas kehendak dirinya sendiri (dalam arti Hidup-nya), dan akan dirasakan, dibuktikan sendiri sendiri, hasilnya.Yang tekun menjalaninya (artinya selalu patuh pada Hidup), tentu saja banyak bukti didapatnya banyak manfaat dirasakannya. Sebaliknya, yang setengah setengah, juga setengah setengah pula hasil yang didapatnya. Hidup itu adil. Manusia, bagaimanapun bijaksananya, tidak ada yang adil dalam arti sebenarnya.
Yang menyimpangpun (menyalahi kehendak Hidup), juga tidak menunggu kelak, segera merasakan buktinya (akibatnya), Ini diterima sebagai petunjuk pula. Hanya dalam bentuk kebalikan, agar kita tidak mengulanginya.
Kalau selama menggunakan “Kunci”, belum betul betul mendapatkan pengalaman, pembuktian, bahwa Hidup telah menuntun dan melindungi kita, jangan dulu tergesa-gesa, minta diberikan kelanjutannya.
Tekuni dulu, menggunakan “Kunci”, biarkan hidup memberikan bukti kemampuannya mengatur, menuntun dan melindungi, sampai kita benar benar yakin. Kalau semua itu sudah terjadi, itu baru “satu arah”. Artinya dari Hidup ke Kita manusianya. belum bisa dari Kita manusianya ke Hidup, komunikasinya. Jadi, baru komunikasi satu arah. Hidup ke Raga (manusianya). Raga (manusianya) ke Hidup, belum bisa.
“A S M O” – Sarana Gaib II
Pada waktu kita lahir, orang tua kita hanya melihat bayi yang lahir itu, yang tampak oleh panca Indera. Jadi, yang diberi nama (asmo), hanya raganya bayi. Padahal, bayi yang lahir terdiri dari Raga dan Hidup di dalamnya. Maka, wajar kalau yang dikembangkan selanjutnya, hanya Raganya.
Kalau ingin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan Hidup, maka Hidup itu terlebih dulu, harus diberi “Asmo”.
Dalam hal ini, jangan diterjemahkan dengan Nama, Aran atau jeneng dan semacamnya.
“Asmo”, diberikan, hanya kepada mereka yang sungguh sungguh sudah membuktikan dayanya Hidup lewat “Kunci” dan sudah yakin benar akan kuasanya Hidup. Kemudian bertekad untuk bisa mengikuti segala kehendak (karsanya )-nya Hidup.
Benar ? Sekali lagi. Benarkah anda sudah siap dan bertekad mau menjalani kehidupan dan penghidupan anda, dengan selalu mengikuti, menuruti karsanya Hidup?.
Sekali lagi, anda renungkan dan pertimbangkan masak masak. Sebab, kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo”, berarti anda sudah sepenuhnya menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil (Penghayat Kapribaden).
Kalau anda mengingkari Hidup, anda akan ditagih oleh Hidup anda sendiri. Sekalipun tak seorangpun tahu.
Dalam Penghayatan ini, tidak ada Guru-Murid. Tidak ada yang Menuntun dan Dituntun.
Kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo” , dalam menjalani laku, anda sepenuhnya berdiri sendiri (mandiri, mandireng pribadi). Guru anda adalah Hidup anda sendiri, Penuntun anda adalah Hidup anda sendiri. Yang jadi murid adalah anda sendiri, yang dituntun adalah anda sendiri juga.
Bagaimana ? Siap ? Tidak ragu ragu lagi?
Kalau memang benar benar siap :
Mintalah “Asmo”-nya Hidup anda kepada Kadhang, yang memang sudah diperkenankan memberikan “Asmo”.
Setiap Penghayat, boleh, memberikan “Kunci” Hidup. Tetapi tidak setiap Penghayat diperkenankan memberikan “Asmo”-nya Hidup.
Boleh-tidaknya seseorang memberikan “Asmo”, ditentukan, diijinkan oleh Hidup itu sendiri, karena laku yang bersangkutan. Bukan diijinkan oleh seseorang.
Kalau dipaksakan, seseorang memberikan “Asmo”, padahal belum diperkenankan, maka tidak akan ada gunanya “Asmo” yang diberikan itu. Yang diberi, tidak bisa menggunakannya.
Perlu diperhatikan juga :
Penghayatan ini bersifat pribadi. Jadi, karena tidak ada satupun kewajiban berupa Ritual, maka kalau anda menghayati Penghayatan ini, tak akan ada seorangpun tahu, kalau tidak anda beritahu.
Jadi, kekhawatiran bahwa anda akan diketahui menghayati sesuatu, padahal tidak anda inginkan, tidak perlu ada, lain halnya kalau anda sendiri memberitahukan.
“Asmo”, diberikan oleh Hidup kepada Hidup.
“M I J I L “ – Sarana Gaib III
Setelah Hidup anda diberi “Asmo”, maka oleh Kadhang yang memberi “Asmo” atau Kadhang lain yang ditugasinya, anda akan dituntun caranya “Mijil”.
Mijil di sini, bukan berarti keluar. Mijil di sini, artinya anda (Raganya / Manusianya), bisa Miji-hamijeni, Menyatu, bersambungan, dengan Hidup anda.
Kata-kata “Mijil” :
1. (Asmo), jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, arso . . . . . . . . . .
(Ini digunakan hanya dalam hal hal yang bersifat spiritual – Gulung)
2. (Asmo) , jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro arso . . . . . . . . . .
(Ini digunakan, sebelum anda, raganya, manusianya, akan berbuat apa saja – Gelar)
Contoh :
1. Seorang Penghayat, dalam menjalani laku, suatu saat dihadapkan pada orang yang meminta pertolongan. Sakit misalnya.
Lalu, dalam rasanya, merasa diperkenankan menolong.
Mijilnya :
(Asmo), jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, arso “ngusadhani ragane manungso aran . . . . . . . . . . . . . . keparengo waras”.
Jadi, yang ngusadhani, bukan manusianya, tetapi Ingsun, yaitu hidupnya.
Itu cuma contoh. Titik titik sesudah kata arso, boleh diisi dengan bahasa apapun. Bahasa Ibu dari penghayat yang bersangkutan.
Contoh itu, tidak berarti bahwa Penghayat ini, akan jadi dukun, tugasnya mengobati orang. Sama sekali tidak.
2. Misalnya mau makan, yang makan adalah raganya, maka Mijilnya:
(Asmo) jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro “arso mangan”.
(Kaserepo kabeh sari-sarine kang dhipangan, ndhadhekake waras lan kuate raganiro”).
Itu semua, kalau anda sudah bisa Mijil.
Mijil untuk pertama kali
Untuk pertama kali, sesudah Hidup anda diberi “Asmo”, Mijilnya adalah sebagai berikut.
(Asmo) jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, “arso mbekso beksaniro pribadi”
(Ini standar, jadi siapapun, untuk pertama kali mijil, mijilnya begini. Termasuk mereka yang orang asing / bukan orang Indonesia).
Sikap (patrap) Mijil
Kalau keadaan memungkinkan, artinya sedang sendirian, atau dalam lingkungan kadhang sendiri, maka Mijil dengan sikap (patrap) tertentu.
Tangan di depan ulu hati, semua jari mengarah ke atas, telapak tangan menghadap ke kiri. Tangan kiri diletakkan di pinggang sebelah kiri, seperti orang bertolak pinggang.
Sikap (patrap) itu, merupakan lambang. Lambang pengakuan, bahwa sekalipun Hidup itu berasal dari Tuhan, tetapi Raga kita berasal dari Bapak dan Ibu.
Waktu Mijil pertama kali, yaitu Mijil Mbekso beksaniro pribadi kedua lengan dan tangan atau anggota badan lain, bergerak, ikuti saja.
Jangan ditahan-tahan. Rasakan betul bagaimana rasanya kalau Mijil.
Rasa yang demikian itulah yang menandakan bahwa anda Mijil (Hidup dan raga, benar benar menyatu, saling berhubungan).
Rasa itu (rasa Mijil), harus benar benar dikenali (“dhititeni”), karena pada saat dan keadaan biasa, anda Mijil tanpa ada gerakan, yang ada hanya Rasa Mijil itu.
Untuk Mijil yang pertama kali, pada umumnya perlu dituntun oleh kadhang. Salah kaprah dikatakan Mijilake (me-Mijil-kan). Padahal sebenarnya, Hidup itu Mijil sendiri dengan Raganya.
Maka, lebih tepat dikatakan, bahwa Kadhang yang lebih dulu menghayati itu, “menuntun caranya Mijil”. Bukan me-Mijil-kan (mijilake).
Selanjutnya, apa gunanya atau kapan digunakannya Mijil itu.
“Arep tumindak opo wae, Mijil”
(Mau berbuat atau melakukan apa saja, Mijil terlebih dahulu).
Mau makan, mau minum, mau buang air, mau mandi, mau bekerja, mau bepergian, mau nonton bioskop, pokoknya mau apa saja, Mijil dulu.
Contoh :
1. Anda ingin pergi ke rumah seorang teman.
Anda Mijil dulu.
(Asmo, jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro “mau pergi ke rumah Susanto”)
Lalu anda rasakan betul. Apa yang anda rasakan ? kalau rasanya mengatakan “jangan”, atau ada rasa yang berat, seperti menghambat, maka sebaiknya anda batalkan. Kalau anda tetap pergi, berbagai kemungkinan yang tidak enak akan terjadi. Misalnya teman anda Susanto tidak di rumah, atau anda mengalami kesulitan di jalan, atau kalaupun bertemu, pertemuan itu menghasilkan hal hal yang tidak mengenakkan, dan berbagai kemungkinan lain.
Kalau sesudah Mijil, lalu anda rasakan, dan rasanya mengatakan “ya”, atau merasa tidak ada hambatan, pergilah. Hasilnya akan mengakibatkan tentramnya semua pihak.
2. Anda ingin nonton film ke teater.
Anda Mijil, ternyata setelah dirasakan, terasa seperti dihambat, atau tidak diijinkan. Sebaiknya rencana anda batalkan. Bisa terjadi, akan ada tamu, yang lebih penting dari nonton film. Sedang nonton film itu, bisa kapan saja (lain kali).
3. Anda mau berurusan dengan seseorang.
Anda mijil dulu.
Kalau rasa mengatakan “jangan”, sebaiknya urusan dengan orang itu anda batalkan. Hidup lebih tahu dari anda.
Sekalipun menurut perhitungan anda urusan dengan orang itu akan menyenangkan, atau akan menguntungkan, tetapi kalau Hidup mengatakan “jangan”, biasanya akibat di kemudian harinya tidak baik
Dan macam macam contoh lain bisa diberikan. Semua itu, akan anda dapatkan sendiri, dari pengalaman dan kenyataan yang anda alami sendiri.
Maka, makin banyak kenyataan yang anda alami, bahwa Hidup itu selalu benar, anda akan makin yakin, bahwa mengikuti petunjuknya Hidup itu selalu baik dan benar.
Akhirnya, apapun akan dikatakan orang, bahkan apapun akan dikatakan oleh logika dan ratio anda sendiri, anda akan lebih percaya terhadap apa yang dikatakan Hidup.
Hidup tidak bisa berbuat jelek, tidak bisa salah.
Yang bisa berbuat jelek dan salah adalah manusianya.
Biasakanlah, mau berbuat apa saja, tidak lupa Mijil dulu. Anda akan membuktikan sendiri kebaikan dan kebenaran hidup. Baik untuk saat itu, maupun untuk kemudian.
Ukuran Baik-Buruk, Benar-Salah
Sebelumnya, kita pakai ukuran atau patokan mati, tentang baik-buruk, benar-salah. Kadang kadang, patokan itu dasarnya adalah kesepakatan manusia tentang apa yang dianggap baik dan buruk dan apa yang dianggap benar dan salah. Sering kita jumpai, bahwa norma dan nilai nilai yang demikian itu, berubah menurut perubahan jaman. “Owah-Gingsir”.
Selain itu, kalau sesuatu perbuatan sudah ditetapkan baik dan benar, maka dianggap berlaku setiap saat, setiap hari, sampai norma atau nilai itu diubah.
Misalnya, menolong orang itu dianggap baik dan benar. Tanpa harus tahu, apakah pertolongan kita itu kemudian disalah gunakan atau tidak. Padahal membantu orang melakukan perbuatan salah, berarti kita ikut salah.
Oleh karena itu, sesudah anda bisa Mijil, ketentuan baik-buruk, benar-salah, tidak lagi berpatokan pada ketentuan mati, melainkan pada ketentuan Hidup. Suatu perbuatan yang hari ini kita lakukan, adalah baik dan benar, belum tentu kalau perbuatan yang sama kita lakukan besok, tetap baik dan benar
Dengan Mijil dulu, sebelum melakukan suatu perbuatan, kita tidak akan salah kalau diijinkan oleh hidup, pasti baik dan benar. Kalau tidak diijinkan oleh hidup, dan tetap kita lakukan, pasti buruk dan salah.
Ada kalanya, kita terpaksa melakukan sesuatu, misalnya karena diperintah atasan, padahal kita tahu, hal itu tidak baik dan tidak benar. Sesudah Mijilpun, kita tahu, itu tidak baik dan tidak benar.
Dalam keadaan demikian, Mijilnya adalah sebagai berikut.
(Asmo), jeneng siro Mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro arso “menjalankan perintah. Tanggung jawab kembali kepada yang memerintah (nindhakake perintah. Tanggungjawab bali marang sing mrentah)”. Maksudnya, tanggungjawab kepada Tuhan. Sedang tanggungjawab secara lahiriah, kita tetap bertanggungjawab kepada yang memerintah.
Jadi, tak seorangpun tahu, bahwa sebenarnya, tanggungjawab kepada Tuhan sudah kita kembalikan kepada yang memerintah kita.
Menurut pengalaman, kalaupun terjadi sesuatu di kemudian hari, kita akan dilindungi (“dhiayomi”) oleh Hidup. Cara, jalan dan bentuknya, sering tidak masuk akal.
Anda, tiap bangun tidur “Kunci”, mau tidur “Kunci”, ada apa-apa “Kunci”, tidak ada apa-apa “Kunci”. Lalu sebelum berbuat sesuatu “Mijil” lebih dulu, dan sesudah “Mijil”, anda selalu mematuhi karsanya Hidup (Ingsun), dan mengalahkan karsanya Aku.
Berarti, anda sudah menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil (Penghayat Kapribaden).
Tetapi, yang anda hayati dan amalkan itu, baru menapak di jalan yang baik dan benar di dunia. Yaitu di jalan yang dikehendaki Tuhan atas diri anda.
H a m b a t a n
Hambatan utama dalam menjalani itu semua adalah diri anda sendiri.
Makin pandai orangnya, makin besar pula hambatannya. karena otaknya makin pandai membantah dengan berbagai argumentasi, dan makin pandai pula membuat alasan untuk membenarkan dirinya (Aku-nya). Biasanya kalau sudah terbentur pada keadaan kehabisan akal, baru mau menyerah kepada kuasanya Hidup. Orang pandai, lama kehabisan akalnya.
Hambatan lain, apabila anda punya kekuasaan dan banyak uang. Seolah-olah segala kesulitan, persoalan, bisa anda atasi dengan kekuasaan dan atau uang anda.
Baru mau menyerah kepada kuasanya Hidup, kalau persoalan atau kesulitan yang dihadapi, tidak bisa diatasi dengan kekuasaan dan uang yang anda miliki.
Contoh tentang hal ini banyak sekali.
1. Persoalan yang dihadapi menyangkut soal suami / isteri, atau anak.
Kekuasaan yang anda miliki akan sangat berdaya terhadap ribuan orang lain, tetapi tidak berdaya terhadap keluarganya sendiri.
2. Anda atau keluarga anda sakit. Selama dokter/ilmu kedokteran masih bisa membantu untuk menyembuhkan, anda akan menggunakan kekuasaan dan uang anda. Anda lalu menganggap semua bisa diatasi dengan kekuasaan dan uang . Tetapi, kalau dokter dan ilmu kedokteran sudah tidak sanggup, baru anda lari minta pertolongan orang tua, orang pinter. Jadi anda cari yang Gaib.
Padahal, tentram itu bukan kalau bisa mengatasi berbagai persoalan yang silih berganti, tetapi menjalani kehidupan dan penghidupan ini tanpa persoalan (atau sedikit sekali persoalannya). “Tentrem iku yen ora ono opo opo”.
Orang yang tenteram, tidak terlalu terombang-ambing oleh gelombangnya senang-susah, puas-kecewa, tetapi ada atau tidak ada apa apa, selalu diliputi rasa bahagia.
Segalanya dia jalani dengan sungguh sungguh, tetapi apapun hasilnya selalu dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menentukan. Jelas kiranya, bahwa musuh utama dalam menjalani laku ini, adalah A K U.
“Aku”, sejak asalnya (“gawan bayi”) selalu berisikan :
1. Kesombongan (arrogancy);
2. Egoisme dan Egocentrisme (mementingkan diri sendiri dan memandang segala sesuatu hanya dari sudut pandangnya sendiri);
3. Nafsu (lust);
4. Angkara (kesrakahan);
5. Kemalasan;
6. Ketidak acuhan (ignorancy).
Sifat sifat “Aku” itu selalu bertentangan dengan sifat sifat Hidup (Ingsun).
Maka, kalau ingin bisa lancar menjalani laku ini, harus bisa mengalahkan “Aku” dalam diri kita masing masing
Mengalahkan “AKU”
“AKU” itu begitu kuatnya, karena selain sudah jadi bawaan kita masing masing sejak lahir, dalam pertumbuhan kita, sengaja atau tidak, “AKU”-lah yang selalu kita kembangkan.
Makin bertambah umur kita, makin kuat pula “AKU” kita, kalau selama itu kita tidak berusaha sungguh sungguh mengalahkannya.
Kita kenal, bahwa orang tua makin susah dimengerti, makin susah diajak kompromi, kalau sudah begini maunya ya harus begini, dan seterusnnya. Itu karena “AKU”-nya sudah terlanjur kokoh-kuat berakar.
Maka, tidaklah cukup kalau mau mengalahkan “AKU” hanya dengan tekad. Karena yang punya tekad itu juga “AKU”.
Mengalahkan “AKU” harus dengan Laku. Dan masih harus dibantu dengan cara, dengan sarana Gaib.
Laku membersihkan Raga (Laku pangumbahing Rogo)
Laku membersihkan Raga ini, pada hakekatnya merupakan upaya mengalahkan “AKU”.
Membersihkan Raga bukan dengan mandi 10 kali sehari, tetapi dengan Laku.
Laku itu adalah :
1) Sabar;
2) Narimo;
3) Ngalah;
4) Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae;
5) Ikhlas
Penjelasannya :
Ad.1. Sabar
Sabar, bukan asal tidak marah.
Memaksakan sesuatu sebelum waktunya, juga termasuk tidak sabar.
Contoh Sabar yang baik adalah seorang ibu yang mengandung. Dengan penuh rasa cinta kasih, dia pelihara kandungannya, sampai cukup bulannya. Tak seorang ibupun ingin anaknya lahir sebelum waktunya.
Sabar, harus benar benar terasa sampai sedalam-dalamnya. Berpura-pura sabar, padahal di dalam dirinya marah bergejolak, tidak benar dalam laku ini. Ini yang dinamakan Laku Pura-pura suci. “Laku semuci-suci.” Misalnya karena usia, atau kedudukan, sehingga dirinya dituakan. Lalu sekalipun sebenarnya marah, tetap tersenyum. Hal ini baik kalau untuk seorang diplomat. Tetapi tidak benar dalam menjalani laku ini.
Orang Sabar, dalam segala hal berpedoman, step by step slow but sure, biar lambat asal selamat, alon-alon waton kelakon (kanti becik lan bener).
Penyakit penyakit seperti Hypertensi (tekanan darah tinggi), neurosis (gangguan keseimbangan emosi), insomnia (tidak bisa tidur) dan semacamnya, akan jauh.
Ad. 2. Narimo
Istilah narimo, sering disalah artikan.
Narimo yang sebenarnya, adalah sifat manusia yang dalam segala hal, berusaha semaksimal mungkin (atau seoptimal mungkin), tetapi sejak awalnya selalu menyadari dan selalu siap bahwa Tuhanlah yang menentukan. (Man purposes, God disposes).
Kekecewaan demi kekecewaan yang bisa berakibat (strain), jarang menghinggapi orang yang “narimo”.
Ad. 3. Ngalah
Hanya orang yang menang yang bisa mengalah.
Mengalah yang sebenarnya, adalah kalau kita sampai merasakan senang atau bahagia.
Misalnya, seorang ayah yang punya anak berumur 4 tahun. Sehabis melihat tinju di televisi, lalu mengajak bertinju ayahnya, di tempat tidur. Sang ayah mengalah, pura pura knock out. Anaknya senang, dan berlagak menjadi juara. Tentu saja, ayahnya yang mengalah itu merasa senang dan bahagia.
Sering kita alami, menghadapi seseorang yang ngotot ingin menang, karena pengetahuan dan pengalamannya yang masih dangkal. Kita mengalah, karena menganggap menghadapi kanak kanak. Kalau kita memang menyayangi orang itu, kita merasa senang melihat dia puas.
Ad. 4. Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae.
(Cinta, kasih dan sayang kepada apa dan siapa saja).
Jadi kita selalu berusaha mencintai dan mengasihi apapun yang ada, dan siapapun yang kita hadapi. Mencintai apa saja, maksudnya mencintai benda, mencintai pekerjaan, mencintai binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Mencintai siapa saja, adalah mencintai sesama manusia, tanpa pilih pilih. Menghadapi siapapun, kita landasi rasa cinta pada diri kita.
Gambaran tentang ini.
Romo Herucokro Semono, suatu saat ditanya. “Kalau lakunya Putro diumpamakan anak sekolah, apa tandanya kelasnya sudah tinggi?”
Jawaban beliau : “Tandanya Putro lakunya sudah jauh, kalau jangankan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sekalipun, semua mencintai kamu, karena kamu senantiasa menanam cinta kasih”.
(“Tandane Putro lakune wis adoh, lamun ojo maneh kang asipat jalmo manungso, kewan tetuwuhan pisan podo tresno marang jeneng siro, amargo siro tansah nandhur katresnan”).
Ad. 2. Narimo
Istilah narimo, sering disalah artikan.
Narimo yang sebenarnya, adalah sifat manusia yang dalam segala hal, berusaha semaksimal mungkin (atau seoptimal mungkin), tetapi sejak awalnya selalu menyadari dan selalu siap bahwa Tuhanlah yang menentukan. (Man purposes, God disposes).
Kekecewaan demi kekecewaan yang bisa berakibat (strain), jarang menghinggapi orang yang “narimo”.
Ad. 3. Ngalah
Hanya orang yang menang yang bisa mengalah.
Mengalah yang sebenarnya, adalah kalau kita sampai merasakan senang atau bahagia.
Misalnya, seorang ayah yang punya anak berumur 4 tahun. Sehabis melihat tinju di televisi, lalu mengajak bertinju ayahnya, di tempat tidur. Sang ayah mengalah, pura pura knock out. Anaknya senang, dan berlagak menjadi juara. Tentu saja, ayahnya yang mengalah itu merasa senang dan bahagia.
Sering kita alami, menghadapi seseorang yang ngotot ingin menang, karena pengetahuan dan pengalamannya yang masih dangkal. Kita mengalah, karena menganggap menghadapi kanak kanak. Kalau kita memang menyayangi orang itu, kita merasa senang melihat dia puas.
Ad. 4. Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae.
(Cinta, kasih dan sayang kepada apa dan siapa saja).
Jadi kita selalu berusaha mencintai dan mengasihi apapun yang ada, dan siapapun yang kita hadapi. Mencintai apa saja, maksudnya mencintai benda, mencintai pekerjaan, mencintai binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Mencintai siapa saja, adalah mencintai sesama manusia, tanpa pilih pilih. Menghadapi siapapun, kita landasi rasa cinta pada diri kita.
Gambaran tentang ini.
Romo Herucokro Semono, suatu saat ditanya. “Kalau lakunya Putro diumpamakan anak sekolah, apa tandanya kelasnya sudah tinggi?”
Jawaban beliau : “Tandanya Putro lakunya sudah jauh, kalau jangankan manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sekalipun, semua mencintai kamu, karena kamu senantiasa menanam cinta kasih”.
(“Tandane Putro lakune wis adoh, lamun ojo maneh kang asipat jalmo manungso, kewan tetuwuhan pisan podo tresno marang jeneng siro, amargo siro tansah nandhur katresnan”).
Ad. 5. Ikhlas
Pada umumnya, orang mengatakan ikhlas, kalau sudah terlanjur kehilangan sendiri, memberikan sesuatu.
Dalam laku ini, yang dimaksud Laku Ikhlas, adalah :
Setiap saat, menyadari sepenuhnya, bahwa segala yang ada pada dirinya, seperti kepandaian, pengalaman, kemampuan karena kekuasaan atau kekayaan yang dimiliki, tenaga, pikiran, waktu, bahkan orang-orang yang dicintai, semuanya adalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Maka, setiap saat siap, apabila semua yang ada pada dirinya itu, dikehendaki Pemiliknya, Tuhan yang Maha Esa, mau digunakan untuk sesuatu.
Kehendak Tuhan itu, diketahuinya melalui Hidup yang ada pada dirinya.
Jadi, ikhlas tidak hanya kalau kehilangan atau memberi, tetapi juga ikhlas menerima apapun.
Misalnya, seseorang, oleh Presiden, diangkat menjadi Menteri Kesehatan. Dia menerimanya sebagai kehendak Tuhan, yang disampaikan melalui Presiden, bahwa dirinya dipercaya untuk menyehatkan 180 juta rakyat Indonesia. Jadi, keadaan kesehatan seluruh rakyat, harus dia pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dia harus narimo dan ikhlas menerima beban, tugas dan kewajiban itu. Sama sekali tidak memandang dari segi kekuasaan, kehormatan, penghasilan yang didapatnya. Itu tidak kekal. Tetapi kalau dia bisa menjalankan kewajibannya yang diberikan Tuhan dengan baik, berarti dia melangkah lebih mendekatkan dirinya kepada Tuhan. Ini akan lebih kekal akibat atau hasilnya.
Kalau seseorang diberi kekayaan melimpah, jauh melebihi kebutuhannya, dia harus Narimo dan Ikhlas menerima, bahwa dirinya diberi tugas yang lebih besar bagi kesejahteraan, kebahagiaan sesamanya.
Kalau seseorang diberi kepandaian lebih dari sesamanya, dia harus Narimo dan Ikhlas mendapatkan tugas memberikan kepandaiannya itu kepada sesamanya. Dan bukan untuk menguasai sesamanya.
Semua kelebihan yang diberikan itu harus digunakan dengan tepat. Hidup yang tahu, untuk apa dan siapa.
Kalau tidak, maka apabila saatnya datang, Hidupnya tidak akan bisa langsung kembali kepada Tuhan, karena masih ada beban yang tertinggal.
Sudah mampukah kita mengalahkan “AKU” ?
Belum. “AKU” begitu perkasa dan begitu dalam mengakar dalam diri kita.
Maka sesudah bisa menjalani 5 (lima) Laku pembersih raga, kita masih memerlukan bantuan Sarana Gaib, untuk mengalahkan “AKU”
Sarana Gaib IV yang anda perlukan.
S I N G K I R – Sarana Gaib IV
“Singkir” ini, gunanya untuk menipiskan “AKU” dengan segala sifatnya, termasuk angkara murka dalam diri kita sendiri.
Kata-kata “Singkir” :
Gusti Ingkang Moho Suci,
kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito;
Hananiro – hananingsun;
Wujudiro – wujudingsun;
Siro sirno mati dhening satriyo / wanito sejati;
Ketiban idhuku putih, sirno layu dhening (Asmo).
Pada saat-saat senggang, kalau pikiran anda sedang jernih dan tenang, berlatihlah menggunakan “Singkir” ini.
Makin lama, “AKU” di diri anda akan makin menipis.
Ini akan memudahkan anda menjalani laku, karena “AKU”-lah biasanya yang selalu menentang, melawan kehendak Hidup, kalau mau anda lakukan. “AKU” selalu tampil dengan berbagai dalih dan alasan, agar anda batal menjalankan karsanya Hidup.
Sampai dimana Laku anda sekarang :
Bangun tidur “Kunci”, mau tidur “kunci”, ada apa-apa “Kunci, tidak ada apa-apa “Kunci”.
Mau berbuat / melakukan apa saja Mijil dulu. Sesudah Mijil, selalu melaksanakan karsanya ingsun (Hidup). Kalau bertentangan dengan kehendak “AKU”, maka kehendak “Aku” yang dikalahkan.
Selalu Sabar, Narimo, Ngalah, Tresno welas asih dan Ikhlas, dibantu “Singkir” mampu menipiskan “AKU” dalam diri sendiri.
Kalau benar, sekali lagi kalau benar anda sudah demikian itu, maka besar sekali kemungkinannya anda bisa menggunakan Sarana Gaib ke-V, yaitu Paweling.
P A W E L I N G
Kata-kata Paweling :
Siji-siji, loro-loro, telu-telonono,
Siji sekti, loro dadi, telu pandito,
Siji wahayu, loro gratrahino, telu rejeki
Awas : jangan sampai anda keliru dengan “Aji Pameling” yang digunakan orang untuk berkomunikasi jarak jauh semacam telepathy.
Apabila anda memang sudah seperti yang digambarkan di depan, maka Paweling ini bisa anda gunakan dalam arti yang sebenarnya.
Paweling adalah Sarana Gaib untuk menghubungkan Hidup dalam diri anda dengan HIDUP yang meliputi (ngalimpudhi) alam semesta seisinya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa.
Keadaan yang demikian itu, yang sesungguhnya disebut Manunggal.
Juga disebut Manunggalnya Kawulo Gusti, atau manunggalnya Putro dengan ROMO, atau Manunggalnya Hidup dengan HIDUP yang menghidupi.
(Putro adalah Hidup yang ada dalam diri kita, sedang ROMO adalah HIDUP yang meliputi, menggerakkan dan menguasai alam semesta seisinya).
Apabila anda benar bisa menggunakan Paweling, anda akan dalam keadaan Manunggal / Menyatu dengan Alam.
Keterbatasan anda sebagai manusia, lenyap (dimensi ruang dan waktu).
Anda akan mengalami berada di lebih dari satu tempat, dalam waktu bersamaan. Tetapi keberadaan anda itu bukan hanya “bayangan” anda, melainkan benar benar anda. Ditiap tempat, anda misalnya sama sama makan-minum dan berbuat seperti biasa. Disaksikan orang lain. Bahkan, anda bisa berada misalnya di 2 tempat, termasuk mobil andapun jadi dua. Hal ini beberapa kali sudah terjadi atas seseorang Penghayat laku ini, dan saksi-saksinya masih hidup.
Tentu saja, kita tidak akan mungkin terus-menerus dalam keadaan manunggal dengan Tuhan. Kita tidak akan kuat.
Maka, kalau sekali sekali diperkenankan merasakan, kita sudah mendapat anugerah yang tak ternilai. Ini berarti bahwa kita pernah menjalani “jalan kembali” kita kepada Tuhan.
Suatu kenikmatan dan kebahagiaan tertinggi yang bisa dicapai Manusia.
Apabila seseorang dalam keadaan tersebut, maka apa yang diucapkan akan terjadi. Sekalipun tidak masuk akal. Atau akal manusia tidak sampai. Meskipun pada mulanya semua orang tidak percaya dan bahkan membantah, akan terbukti bahwa ucapannya jadi kenyataan. Dan barulah orang terpaksa mengakui, sekalipun akalnya tetap tidak bisa menerima. Lalu, paling paling, disebutnya mujijat, ajaib.
BEBERAPA CATATAN SEBAGAI PENJELASAN
Laku Gelar-Gulung
Gelar artinya yang lahiriah. Gulung artinya yang spiritual, yang gaib.
Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, lakunya Gelar-Gulung.
Artinya :
Apapun yang diterima Gulung, yaitu karsanya Hidup yang tertangkap Rasa, segera di Gelarkan, dilaksanakan.
Catatan :
Karsanya Hidup (“dawuhe Urip”), apabila diterima (di Rasa, juga disebut Roso Jati), harus segera dilaksanakan.
Kalau ditunda pelaksanaannya, kita tidak akan mendapat bukti kebenaran “dawuh” itu. Tidak akan terjadi, “dawuh” diberikan, tetapi belum waktunya (belum “titi wanci”). Hidup tidak akan memberikan “dawuh”-nya, kalau belum waktunya dilaksanakan.
Itu yang disebut “nggelarake gulung”. Maka ada rumus bagi Putro (penghayat laku ini), yaitu :
Krenteg, Budhi, Ono
(Timbul rasa, tergerak rasanya, langsung bertindak, dilaksanakan, akan ada buktinya).
Sebaliknya :
Apapun yang dialami, dihadapi, harus selalu di-Gulung. Artinya, apapun yang kita alami, kita hadapi, harus Mijil, untuk ditanyakan kepada hidup, apa sebenarnya makna dari kejadian yang kita alami atau hadapi itu.
Ini yang dinamakan “Nggulung samubarang kang sipat Gelar” (meng-Gulung yaitu mengecek ke dalam, semua yang bersifat lahiriah).
Jadinya, kita tidak gegabah menyimpulkan segala sesuatu yang kita alami, kita hadapi, karena kita tahu, makna dan maksud yang tersembunyi di balik kejadian itu. Dengan bahasa lain, kita tahu, apa yang sebenarnya menjadi kehendak Tuhan, yang diterima oleh Hidup dalam diri kita.
Sering, kita alami kejadian yang tidak mengenakkan diri kita. Setelah di Gulung, kita tahu, bahwa sebenarnya itu merupakan peringatan atau petunjuk dari Tuhan. Dan ini, hanya Hidup yang tahu. Ini sebenarnya yang disebut menemukan hikmah dari segala kejadian. Bukan dengan menghubung-hubungkan melalui pikiran kita (“ngotak-atik gatuk”).
Melatih laku kita
Arena paling baik untuk berlatih menjalani laku ini, adalah dalam keluarga kita masing masing. Kalau dalam keluarga kita sendiri, kita sudah bisa seperti digambarkan didepan, kita melatih diri di arena yang lebih luas. Misalnya di tempat kita bekerja, atau di dalam kita bermasyarakat.
Tetapi, ada arena yang sangat efektif untuk berlatih, yaitu dalam Sarasehan bersama-sama kadhang kadhang kita.
Romo Herucokro Semono :
“Nek beras sak las dhideplok, mesti ajur. Nanging nek beras sak lumpang, jenenge dhisosoh. Ora amargo soko alune utowo lumpange, nanging amargo gosok ginosok antarane las siji karo sijine, dhadhi podo mlecete, dhadhi podo putihe”.
(Kalau sebutir beras ditumbuk pasti hancur, tetapi kalau banyak, ditumbuk, bukan karena penumbuknya atau tempatnya, melainkan butir yang lain, lalu sama sama terkelupas, sama sama menjadi putih)
Jadi saling gosok (gosok-ginosok) antara sesama kadhang, akan sangat mempercepat proses laku kita.
Memang, digosok itu tidak enak, kadang kadang agak sakit, tetapi kalau kita takut tergosok, kita tidak akan pernah jadi putih (bersih).
Kebersamaan sesama penghayat Laku ini
Seorang penghayat dengan penghayat lain disebut “Kadhang”.
“Kadhang” di sini, artinya seseorang yang hubungannya melebihi saudara kandung.
Romo Herucokro Semono :
“Sedhulur sakringkel iku sing podo mung kulit-dhaginge, dhadhi bisa bosok, nek kadhang iku Uripe, dhadhi tansah rante-rinante rasane”.
(Saudara kandung itu yang sama hanya kulit-dagingnya, jadi bisa busuk, kalau kadhang itu Hidupnya, jadi seperti mata rantai, yang rasanya selalu berhubungan).
Kebersamaan para penghayatnya dinamakan “Kekadhangan”.
“Kekadhangan” ini terbentuk secara alamiah, kalau masing masing memang benar benar mengikuti Hidup.
Di depan sudah dikatakan, bahwa Hidup itu sama, sebenarnya Satu.
Maka, kalau masing masing mengikuti Hidup, akan tertarik untuk menyatu. Bukan cuma bersatu.
Menyatunya sesama Penghayat menimbulkan ke-Guyub-Rukunan yang murni. Tidak dibuat-buat; bukan karena ada pamrih, dan lebih lebih tidak karena dipaksa.
Segala perbedaan lahiriah hampir tidak nampak dan tidak terasa. Kalaupun masih ada, hanya terbatas pada sikap yang didasarkan pada etika (sopan-santun, tata-krama). Yang muda menghormati yang tua, yang tua menghargai yang muda.
Yang tua dihormati karena memiliki kematangan jiwa disebabkan pengalaman dan kedalaman lakunya (“temuwo”), sedang yang muda dihargai karena kelebihan kepandaian dan semangatnya untuk menimba sebanyak-banyaknya, serta kemampuannya untuk bergerak aktif, dinamis, dan kreatif.
Dalam kegiatan apapun, tanpa direncana tanpa diatur. Masing-masing mengikuti Rasanya. Gaib yang mengatur. Dan hasilnya, apa yang dilakukan para penghayat itu, saling isi-mengisi, semuanya lengkap, terpenuhi, dan hasilnyapun membuat bahagia semua orang.
Kunci, Asmo, Mijil, Singkir, Paweling itu bukan doa, bukan “rapal”, bukan mantera atau mantram.
KUNCI
Sering dikatakan, “Moco Kunci ping pitu, nanging pitu iku dhudhu etungan”. (Membaca Kunci tujuh kali, tetapi tujuh itu bukan hitungan).
Yang dimaksud :
“Membaca” Kunci, harus sampai benar-benar dirasakan, bahwa 7 (tujuh) lapis Raga, masing-masing, dan seluruhnya, menyembah kepada Hidup.
Jadi, benar-benar sampai terasa. Rasanya kalau 7 lapis Raga, seluruhnya sudah terkena dayanya Kunci, dan menyembah dalam arti pasrah kepada Hidup.
Kalau “membaca” Kunci masih bisa menghitung, berarti masih “membaca” dengan pikirannya, belum dengan Rasa. Rasa tidak pernah bisa dihitung.
Contoh :
Kita bisa menghitung buah sawo, tetapi kita tidak bisa menghitung rasanya sawo.
Banyak orang yang menggunakan Kunci, masih memperlakukannya sebagai “rapal” atau mantera. Asal kata-katanya sudah “dibaca” dalam batin.
Banyak juga yang “membaca” Kunci masih dihitung.
Sekalipun yang demikian itu juga mendapat pembuktian (paseksen), tetapi bukan itu yang sebenarnya.
Kalau “membaca” Kunci dengan Rasa maka tidak dihitung, sampai berhenti sendiri. Jangan dipikir, sampai di mana berhentinya, apalagi sudah berapa kali saat berhenti. Asal sudah berhenti, artinya 7 (tujuh) lapis Raga sudah seluruhnya menyembah dan berserah diri (pasrah) kepada kuasa dan pengayomannya Hidup.
Kalau berlatih “membaca” Kunci begini lama kelamaan kita bisa “membaca Kunci dalam waktu singkat sekali. Bahkan tanpa kata-kata (unen-unen) Kunci lagi.
Terbuktilah apa yang dikatakan Romo Herucokro Semono, bahwa “Kunci” iku dhudhu unine, dhudhu unen-unene, nanging kang mahanani uni” (Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan bunyi). Jadi Gaib.
Jangan terjerumus, menjadikan “membaca” Kunci sebagai Ritus (cara ritual). Rutinitas ritual, sering menjerumuskan kita pada pendangkalan penghayatan. Hanya kulitnya dan tidak rasanya.
M I J I L (sudah mencakup Asmo)
Masih banyak yang memperlakukan Mijil sebagai mantera.
Misalnya, mau pergi, Mijil dulu. Asal sudah mengucapkan kata-katanya Mijil, langsung pergi.
Padahal, maksudnya Mijil, agar seseorang, sebelum berbuat sesuatu, mendapat Petunjuknya Hidup.
Boleh atau tidak. Kalau bolehpun, akan mendapat petunjuk, apa, berapa, bagaimana, selanjutnya.
Contoh :
Kita mau pergi ke suatu tempat. Kita Mijil, dan tetap “hening”, lalu mendapatkan rasa, diijinkan. Rasa juga memberi petunjuk, agar lewat jalan tertentu. Barulah kita pergi.
Seseorang minta bantuan kita, sedang kita memang mampu dan bisa memberikan bantuan itu. Misalnya berupa uang.
Kita Mijil. Akan kita terima di rasa, boleh atau tidak. Kalau tidak, mungkin saja karena bantuan kita itu akan dia gunakan yang tidak baik dan tidak benar. Kalau diijinkanpun, kita akan mendapat petunjuk berapa besarnya bantuan itu yang seharusnya (menurut Hidup) kita berikan.
Dengan Mijil yang benar seperti itu, tujuannya agar jangan sampai kita berbuat “luput”, berbuat salah menurut ukuran Hidup (ukuran yang paling baik dan paling benar = beciking-becik lan benering bener).
S I N G K I R
Masih banyak yang menerima wulang-wuruk Romo Herucokro Semono, yang diberikan dengan “sanepan” , kiasan, diterima mentah mentah.
Singkir digunakan untuk menghadapi bahaya angin taufan (lesus), bahaya api (kebakaran), gempa bumi (lindu) dan gunung meletus. Ini kiasan, “sanepan”.
Yang dimaksud adalah di dunia kecil, jagad cilik, micro cosmos, yaitu diri kita sendiri.
Angin taufan, adalah suara yang tidak enak didengar. Misalnya fitnah, cacian, celaan, sindiran, bahkan kritikan terhadap diri kita. Akibatnya, api berkobar dalam diri kita. Kita jadi tidak tenang, yang berarti dunia kita gempa bumi. Kalau sudah tidak tahan, mulut kita akan meledak, buruk, yang berarti gunungnya meletus.
Semua itu, disebabkan karena “AKU” dalam diri kita yang bekerja (makarti). Jadi itu kelakuan Sang “AKU”.
Untuk mengurangi sebanyak mungkin terjadinya angin taufan, api, gempa dan meletusnya gunung diri kita itu, diberikanlah Singkir.
PAWELING
Dua macam kesalah fahaman sering terjadi terhadap Paweling ini.
Yang pertama, memperlakukan paweling seperti Aji pameling. Digunakan untuk berhubungan dengan orang lain (kadhang) dari jarak jauh. Kalaupun bisa, sayang sekali. Itu sama dengan “Menembak burung dengan meriam. Burungnya terbang, pohonnya tumbang”.
Yang kedua, memperlakukan Paweling seperti telepon, untuk menelepon ROMO, Gusti Ingkang Moho suci , Tuhan Yang Maha Esa.
Mohon petunjuk atau “dawuh” bagi dirinya. Lalu apa yang didapat, dianggapnya sebagai “dawuh”-nya ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Ini sama dengan orang yang diberi satelit komunikasi, lalu hanya digunakan untuk pacaran. Jadi kalau benar benar ada “dawuh” dari ROMO, Gusti Ingkang Moho suci, saluran kita tertutup.
Untuk mengatur, melindungi, memelihara Diri Kita (jagad-cilik, micro cosmos), bahkan untuk memberi pada diri kita, Gusti Ingkang Moho Suci memberikan kuasaNya (mandatNya) kepada Hidup yang ada dalam diri kita masing masing.
Jadi tidak perlu dan tidak ada gunanya, membawa-bawa ROMO, Gusti Ingkang Moho suci. Salah salah, petunjuk atau “dawuh”-nya Hidup (Urip), kita kira petunjuk atau “dawuh”-nya ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Petunjuk atau “dawuh” dari ROMO, Gusti Ingkang Moho suci, selalu menyangkut umum, bukan diri kita pribadi. Dan selalu ada tanda tanda, misalnya juga diterima sama oleh orang lain. Petunjuk atau “dawuh” seperti ini, bisa menyangkut diri kita , bisa diri kita tidak ada sangkut-pautnya sama sekali secara Gelar (lahiriah), Dan pasti terjadi, sekalipun menurut perhitungan nalar ribuan orang tidak mungkin.
Contoh “dawuh” ROMO, Gusti Ingkang Moho suci :
Tahun 1978, seorang penghayat Kapribaden, menyatakan bahwa Komunisme di Rusia dan Eropa Timur akan hilang
Tak seorangpun, saat itu mau percaya. Dan bahkan semua menyatakan tidak mungkin. Ternyata benar benar terjadi.
Lama sebelum terjadi, seorang Penghayat Kapribaden, menyatakan bahwa Amerika dan Sekutunya akan menyerang Irak. Bantahan dengan berbagai analisa dikemukakan (analisa intelejen), yang menyatakan tidak mungkin, karena Amerika akan mempertimbangkan keikut sertaan Uni Sovyet membantu Irak.
Ternyata yang terjadi sesuai “dawuh” dan tidak sesuai dengan berbagai analisa akal pikiran.
Banyak lagi, contoh lain.
Oleh karena itu, seyogyanya jangan sembarangan menggunakan Paweling. Kalau paweling kita gunakan sembarangan, nantinya kita malah tidak bisa menggunakan Paweling yang sebenarnya, yaitu untuk manunggal-kan Urip dengan URIP, Putro dengan ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Sumber : http://orishop.000space.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar