Hidup itu Gaib, maka tidak bisa dikenali dengan perabot pada diri
kita, yang bersifat ragawi (materiil). Jadi, tidak bisa ditangkap oleh
Panca Indera kita, keberadaannya (eksistensinya).
Telah diuraikan di depan, bahwa Hidup itu kuasanya Gerak, letaknya (“lungguhe”) berada di Rasa. Jadi hanya bisa dirasakan.
Yang dimaksud dengan Rasa dalam buku ini, bukan rasa yang merupakan salah satu indera dari panca indera,
sense, tetapi Rasa yang ada di dalam diri kita, feeling.
Kita semua merasa, sebagai Orang Hidup. Dan kita pasti mengakui, bahwa
kalau ditinggalkan Hidup, kita mati. Dan kalau kita Mati, semua yang ada
pada diri kita, kepandaian, pengalaman, kehebatan, derajat-pangkat,
kehormatan, kedudukan sosial, harta-benda, bahkan orang orang yang kita
cintai, semua tidak berarti lagi. Semua tidak punya nilai lagi bagi
kita.
Semasa masih hidup, kita bisa seperti sekarang ini karena dalam diri kita masih ada Hidup (“Isih kalenggahan Urip”).
Penulis bisa menulis buku ini, karena ada Hidup dalam dirinya. Pembaca bisa membaca ini, karena ada Hidup dalam diri pembaca.
Maka, marilah kita akui keberadaan Hidup itu, dan dengan jujur kita akui
pula betapa sangat pentingnya peranan Sang Hidup itu pada diri kita.
Marilah kita berhenti memperbudak Hidup, dan kita mulai menjadikan diri kita sebagai Abdhinya Hidup.
Siapa yang harus mengakui keberadaan dan peran Hidup itu ? Kita masing
masing. Siapa diri kita itu? Tujuh Lapis Raga kita, dengan segala
kerjanya.
Marilah, 7 (tujuh) lapis raga kita, seluruhnya kita ajak untuk mengakui
keberadaan dan peranan Hidup atas diri kita. Kita ajak seluruh 7 (tujuh)
lapis raga kita untuk tunduk dan menjadi abdhinya Hidup, agar setiap
saat, raga kita itu diselamatkan dari hal hal dan perbuatan yang
dikemudian hari bisa membuat kita tidak bahagia dan tidak bisa langsung
kembali ke asal kita.
Karena hidup itu Gaib, maka untuk mengenalnya memerlukan Sarana yang bersifat Gaib pula.
Seluruhnya ada 5 (lima) sarana gaib, yang didapat Romo Herucokro Semono
dari lakunya yang 41 tahun (1914 -1955). Maka, disebut Panca Gaib.
Sarana Gaib I, disebut K U N C I
Ini, gunanya, untuk memberikan bukti kepada diri kita masing masing, bahwa hidup itu memang ada dalam diri kita.
Yang dimaksud bukti, adalah bahwa diri kita masing masing, dengan
menggunakan “Kunci” itu, tidak hanya percaya bahwa dalam diri kita ada
Hidup, tetapi membuktikan, merasakan sendiri.
Dan kalau “Kunci” itu dihayati sungguh sungguh, diri kita masing masing
akan diberi bukti tidak hanya tentang keberadaan Hidup, tetapi juga
bagaimana bekerja dan kuasanya Hidup itu, atas kehidupan dan penghidupan
kita sehari-hari.
Mohon perhatian :
Jangan tergesa-gesa. Pertimbangkan, renungkan dulu masak masak.
Benarkah kita memang ingin hidup Bahagia Sejati (Tentram), agar bisa selanjutya mencapai kasampurnan jati ?
Kalau kita tidak yakin, bahwa segala sesuatu itu Tuhan yang menentukan,
dan yang terbaik itu apabila sesuai dengan kehendak Tuhan atas diri
kita, maka seyogyanya jangan dulu mengenal Hidup, apalagi menggunakan
Kunci Hidup itu.
Kalau kita yakin bahwa Tuhan yang menentukan segalanya, dan yang terbaik
bagi diri kita adalah yang sesuai dengan kehendak Tuhan, bolehlah
dilanjutkan.
Kalau belum yakin, bukannya tidak boleh, tetapi nantinya pasti akan dan
ditinggalkan lagi, kehendak dan jalannya Hidup, yang sebenarnya
merupakan kehendak dan jalan yang dikehendaki Tuhan bagi diri kita.
“ KUNCI “
Dalam menjalani Laku selama 41 tahun, Romo Semono menghabiskan waktu 25 tahun hanya untuk melengkapkan “Kunci” saja.
Tiap saat beliau hanya dapat satu huruf. Beberapa saat lagi, baru satu
huruf lagi. 25 tahun baru huruf huruf yang beliau dapat itu lengkap,
menjadi “Kunci”.
Jadi, “Kunci” itu bukan merupakan buah hasil pikiran Romo Semono.
Maka, kalau satu suku kata saja berubah, sudah bukan “Kunci” Hidup lagi, dan tidak akan ada gunanya.
Oleh karena itu, sampai saat ini, semua yang menghayati Laku Kasampurnan
ini, apapun suku, bangsa dan bahasanya, dalam menggunakan Panca Gaib,
diantaranya “Kunci”, harus tepat seperti apa adanya.
Tidak perlu, artinya tidak ada gunanya, kata kata dalam “Kunci”
diartikan. Hal ini justru hanya akan mempersulit dan menghambat
penghayatan kita. Apalagi diterjemahkan.
“Kunci” itu berupa kata kata, hanya disebabkan karena Romo Semono yang
menerima, diwajibkan meneruskan kepada sesama manusia, yang menghendaki.
Sebenarnya “Kunci” itu Gaib. Kalau tanpa disertai kata kata kita tidak mampu menerimanya.
Tidak perlu dipikirkan arti dari kata-katanya.
Romo Herucokro Semono sendiri pernah menegaskan :
“ Kunci iku dhudhu unine, dhudu unen-unene, nanging kang mahanani uni”
(Kunci itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan
adanya bunyi).
Bahkan Romo Herucokro Semono pernah pula menyatakan :
“Upomo Kunci iku kudhu kaparingake marang wedus, mbokmenowo unine
embek.” (Seandainya Kunci itu harus diberikan kepada kambing, barangkali
bunyinya embek).
Kata-kata “Kunci” :
Gusti ingkang Moho Suci,
Kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito,
nyuwun wicaksono, nyuwun panguwoso,
kangge tumindhake satriyo/wanito sejati;
Kulo nyuwun, kangge anyirnakake tumindhak ingkang luput.
Catatan :
Agar tidak terjadi salah faham :
Kata kata Sirolah, Dhatolah, Sipatolah, olah-nya dari kata seperti olah –
olah, olah – rogo, dan semacamnya yang artinya “obah” atau gerak.
“Anyirnakake tumindhak ingkang luput”, maksudnya “lupute dewe”, salah pada diri sendiri.
Ada yang menggunakan :
“hanyirnakake”,
Boleh saja, silahkan dicoba, mana yang dirasakan lebih pas/cocok, bagi dirinya masing masing.
Lain-lainnya, satu suku kata saja, tidak boleh berubah.
Bahkan orang orang asing, lafalnyapun harus benar.
Tidak boleh di sini, artinya, kalau berubah, tidak ada gunanya sama sekali, karena sudah bukan “Kunci” lagi.
Kata “satriyo” digunakan oleh Pria dan kata “wanito” digunakan oleh Wanita.
Menggunakan “KUNCI”
Sering digunakan istilah “salah kaprah”, Membaca Kunci (Moco Kunci). Maksudnya bukan membaca dalam arti harfiah (leterlijk).
A. Dihafalkan dulu, kata-katanya, sampai hafal betul dan betul pula lafalnya.
B. Kalau sudah hafal, lakukan sebagai berikut :
1. Duduk sesantai mungkin, sampai seluruh otot terasa lemas, lepas, napas sudah teratur, tidak memikirkan bernafas lagi.
2. Niat untuk menggunakan “Kunci”
3. Kedua mata terpejam rapat.
4. Tunggu sampai kedua lengan dan tangan bergerak sendiri, bersikap menyembah (patrap Kunci) – lihat gambar 1.
5. Ucapkan dalam Rasa, kata kata “Kunci”
Selanjutnya, apapun yang dirasakan, termasuk kalau lengan dan tangan
bergerak sendiri, ikuti saja. Tidak perlu takut sama sekali. Tidak akan
terjadi apapun, yang tidak baik.
Semua itu merupakan tanda, merupakan bukti, bahwa hidup itu benar benar
ada dalam diri kita dan bisa kita rasakan sendiri, kita buktikan sendiri
keberadaannya.
Latihlah terus, di saat saat senggang. Lama lama kita akan hafal
betul, bagaimana rasanya, kalau kita menggunakan “Kunci” Hidup itu.
Kapan menggunakan “KUNCI”
“Tangi turu gregah Kunci, arep turu Kunci, ono opo-opo Kunci, ora ono
opo-opo Kunci” (Bangun tidur segera Kunci, mau tidur Kunci, ada apa apa
Kunci, tidak ada apa apa Kunci).
Jadi, yang wajib dilakukan adalah begitu bangun tidur, sebelum berbuat apapun, Kunci, dan saat mau tidur, Kunci.
Bangun tidur Kunci, maksudnya, agar sepanjang hari, kita dilindungi
oleh Hidup. Dilindungi oleh Hidup, maksudnya agar kita dihindarkan dari
berbuat salah, juga perbuatan salah terhadap diri kita, dihindarkan oleh
Hidup.
Contoh :
Dalam rangka Penulis momong kadhang-kadhangnya selama bertahun-tahun,
kalau ada kadhang kecopetan, pasti karena lupa Kunci. Belum pernah
Penulis alami, ada kadhang yang tidak lupa Kunci, kecopetan di jalan.
Mau tidur Kunci. Maksudnya, agar sekalipun kita tidur, jadi raga
sudah tidak ingat apa apa dan tidak bisa apa apa, Hidup selalu menjaga.
Contoh :
Tidak sedikit kadhang yang mengalami, kalau ada sesuatu, sekalipun
tertidur pulas, serasa ada yang membangunkan. Dan kemudian ternyata,
bangunnya itu memang berguna.
Ada apa apa Kunci, tidak ada apa apa Kunci.
Di manapun kita berada, dalam keadaan apapun, dari pada melamun, atau
berfikir yang tidak tidak, lebih baik digunakan untuk “membaca” Kunci
dalam rasa. Tentu saja, tidak perlu “patrap Kunci”, yaitu bersikap
menyembah seperti dalam Gambar 1.
Sikapnya, disesuaikan situasi dan kondisi kita saat itu.
Pengalaman,
Banyak sekali kadhang yang mengalami, dengan tidak lupa Kunci, Hidup
menghindarkan dirinya dari melapetaka, kecelakaan, musibah, atau
kejadian yang tidak mengenakkan. Tahunya setelah terjadi.
Mendapatkan “KUNCI”
Telah kita ketahui, kata kata “Kunci”, dari membaca tulisan di depan.
Kalau menggunakan “Kunci” dari menghafal tulisan itu, bisa, tetapi
sampai bisa benar benar merasakan dayanya “Kunci” dan membuktikan pula
kerjanya Hidup, karena menggunakan “Kunci”, sebaiknya, mintalah “Kunci”
itu kepada salah seorang yang sudah lebih dulu menghayati Laku
Kasampurnan.
Nantinya, yang memberikan bukan manusianya, tetapi Hidup memberikan
kepada Hidup. Jadi dari Gaib kepada Gaib, yang diberikan, “Kunci” itu,
juga Gaib.
PENGHAYATANNYA
Sesudah kita menggunakan “Kunci”, sebenarnya 7 (tujuh) lapis raga
kita, jadi kita manusianya, menyembah kepada Hidup. Kita berjanji, akan
menjadi Abdinya Hidup. Sembah kita kepada Hidup, akan diteruskan kepada
Hidup yang menghidupi alam semesta seisinya, Tuhan Yang Maha Esa.
Jadi, kita memulai suatu penghayatan, yang sekaligus Pengalaman suatu
laku, yaitu yang disebut Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo
Mijil, atau secara umum juga dikenal sebagai Penghayatan Kapribaden.
Agar tidak salah faham, laku ini adalah sebagai berikut :
Bisa dijalani (dihayati dan diamalkan) atau “dhilakoni” oleh anak
umur 3 tahun. Asal sudah bisa menghafal “Kunci”, sudah bisa menghayati
dan mengamalkan laku ini.
Bahkan Sarana Gaib ini, sudah bisa diberikan kepada bayi yang baru
lahir. Penghayatan ini, tidak mengenal keharusan “tirakat”, “melekan”,
berpuasa “ngebleng”, “kumkum” (berendam di air), meditasi dan
sebagainya.
Inti Penghayatannya adalah :
Selalu tidak lupa kepada Hidup lalu selalu minta prtunjuk Hidup
sebelum melakukan apapun dan mengikuti segala petunjuk Hidup, sekalipun
bertentangan dengan keinginan dan kehendak kita semula.
Karena Guru Sejatinya Hidup kita sendiri, maka Guru Sejati itu yang
paling tahu atas diri kita, dan Guru Sejati itu yang tahu apa sebenarnya
kehendak Tuhan atas diri kita, dan bagaimana seharusnya melaksanakan
semua itu. Guru Sejati itu akan selalu menyesuaikan dengan keadaan kita,
kalau kita masih umur sekolah Taman Kanak kanak, maka Guru Sejati itu
akan jadi Guru Taman Kanak kanak. Bagi yang sudah dewasa, Guru Sejati
akan jadi Dosen atau maha Guru-nya.
Guru Sejati, dalam memberikan tuntunan berupa petunjuk kepada kita,
sesuai dengan nasib yang kita alami, kita jalani dan kita hadapi serta
kita kerjakan masing masing.
Maka, tidak ada 2 orang yang petunjuknya Hidup sama. Cap jari 2 orang Saudara kembarpun, tidak sama.
Laku kita sama, yaitu sama sama mengikuti Hidup, tetapi Lakon kita berbeda satu sama lain.
Petunjuk Hidup, diberikan sesuai lakonnya masing masing, tetapi
intinya sama, yaitu agar tidak menyimpang dari jalan yang dikehendaki
Tuhan atas diri kita masing masing.
Penghayatan ini, sedikitpun tidak menyuruh orang meninggalkan hal hal
yang bersifat duniawi. Jadi, dalam menjalani kehidupan dan penghidupan,
malahan harus wajar, harus biasa saja.
Kesenangan duniawipun, boleh dirasakan, dinikmati. Tetapi kita akan
selalu dituntun, kesenangan yang bagaimana yang tepat untuk diri kita.
Jadi kita terhindar dari menikmati kesenangan, yang kemudian berakibat
kesedihan atau kesengsaraan.
Yang memang ditakdirkan harus kaya, juga boleh, tetapi akan selalu
dituntun, agar kekayaan yang didapat sekarang ini, tidak mencelakakan
atau menyengsarakan di kemudian hari. Termasuk tidak akan mencelakakan
atau menyengsarakan anak cucu.
Memiliki kekuasaan (tentu saja sementara), juga boleh. Akan dituntun,
agar jangan salah menggunakan kekuasaan itu. Sehingga hasilnya akan
lebih kekal, karena sesuai yang dikehendaki Tuhan.
Yang ingin cukup, juga boleh, artinya selalu ter-cukup-i, segala yang dibutuhkan. Bukan yang diinginkan.
Semua itu, bukan kita yang menentukan, tetapi setelah kita terima,
kita tidak akan berjalan salah-arah, dengan apa yang ada pada diri kita.
Kepandaian, kemampuan, kekayaan, kekuasaan, dan lain-lain yang ada
pada diri kita, akan selalu digunakan oleh Hidup, dengan perantaraan
diri kita, untuk hal hal yang dikehendaki Pemilik dari semua itu, yaitu
Tuhan sendiri.
Hidup itu sama, sebenarnya Satu, (Urip iku podo, sejatine Siji).
Maka, kalau Penghayatan ini, dihayati dan diamalkan (“dhilakoni”) oleh seluruh anggota keluarga, kita akan merasakan hasilnya.
Rasa anggota keluarga yang satu selalu berhubungan dengan rasa anggota keluarga yang lain. Sambung rasa setiap saat.
Karena itu, keluarga akan selalu dalam suatu kesatuan yang kokoh-erat, harmonis, penuh diliputi Rasa Bahagia yang sejati.
Manusia, terbatas oleh dimensi ruang dan waktu. Manusia terbatas kemampuan akal-pikirannya.
Hidup tidak mengenal keterbatasan keterbatasan itu. Hidup bisa
melakukan, mengatur apa saja, yang akal manusia tidak sampai, dan bahkan
menurut akal manusia dikatakan tidak mungkin.
Manusia menyebut mujijat, atas kejadian kejadian yang akalnya tidak sampai. Bagi Hidup, tidak ada mujijat.
Para Penghayat Kapribaden telah banyak membuktikan, sesuai lakonnya
masing masing, terjadinya hal hal yang tidak masuk akal, tetapi benar
benar terjadi. Dan semuanya pasti baik dan benar, serta membuat tentram
(bahagia) si Penghayat.
Pembuktian pembuktian (“paseksen”) itu, diberikan oleh Hidup, agar Manusianya, makin lama makin yakin akan kuasanya Hidup.
Kelanjutannya
Bagaimana?
Apakah setelah membaca uraian di depan itu, masih ingin dan masih
berniat untuk menjalani Laku ini, dengan tujuan Hidup tenteram (Bahagia)
di dunia dan akhirnya bisa Manunggal dengan Yang Maha Suci ?
Pertimbangkan dulu masak masak.
Di dunia ini, ditawarkan ribuan macam cara dan jalan bagi manusia dalam menjalani kehidupan dan penghidupan.
Termasuk diantaranya, faham yang mengatakan, hidup di dunia cuma
sekali. Raih kesenangan dan kenikmatan sebanyak-banyaknya, masa bodoh
nantinya.
Laku ini, tidak menakut-nakuti orang, agar orang mau begini atau
begitu. Juga tidak menjanjikan sesuatu (“ngiming-iming”) agar orang
melakukan ini dan itu. Apapun yang dikerjakan Penghayatnya, adalah atas
kehendak dirinya sendiri (dalam arti Hidup-nya), dan akan dirasakan,
dibuktikan sendiri sendiri, hasilnya.Yang tekun menjalaninya (artinya
selalu patuh pada Hidup), tentu saja banyak bukti didapatnya banyak
manfaat dirasakannya. Sebaliknya, yang setengah setengah, juga setengah
setengah pula hasil yang didapatnya. Hidup itu adil. Manusia,
bagaimanapun bijaksananya, tidak ada yang adil dalam arti sebenarnya.
Yang menyimpangpun (menyalahi kehendak Hidup), juga tidak menunggu
kelak, segera merasakan buktinya (akibatnya), Ini diterima sebagai
petunjuk pula. Hanya dalam bentuk kebalikan, agar kita tidak
mengulanginya.
Kalau selama menggunakan “Kunci”, belum betul betul mendapatkan
pengalaman, pembuktian, bahwa Hidup telah menuntun dan melindungi kita,
jangan dulu tergesa-gesa, minta diberikan kelanjutannya.
Tekuni dulu, menggunakan “Kunci”, biarkan hidup memberikan bukti
kemampuannya mengatur, menuntun dan melindungi, sampai kita benar benar
yakin. Kalau semua itu sudah terjadi, itu baru “satu arah”. Artinya dari
Hidup ke Kita manusianya. belum bisa dari Kita manusianya ke Hidup,
komunikasinya. Jadi, baru komunikasi satu arah. Hidup ke Raga
(manusianya). Raga (manusianya) ke Hidup, belum bisa.
“A S M O” – Sarana Gaib II
Pada waktu kita lahir, orang tua kita hanya melihat bayi yang lahir
itu, yang tampak oleh panca Indera. Jadi, yang diberi nama (asmo), hanya
raganya bayi. Padahal, bayi yang lahir terdiri dari Raga dan Hidup di
dalamnya. Maka, wajar kalau yang dikembangkan selanjutnya, hanya
Raganya.
Kalau ingin bisa berhubungan, berkomunikasi dengan Hidup, maka Hidup itu terlebih dulu, harus diberi “Asmo”.
Dalam hal ini, jangan diterjemahkan dengan Nama, Aran atau jeneng dan semacamnya.
“Asmo”, diberikan, hanya kepada mereka yang sungguh sungguh sudah
membuktikan dayanya Hidup lewat “Kunci” dan sudah yakin benar akan
kuasanya Hidup. Kemudian bertekad untuk bisa mengikuti segala kehendak
(karsanya )-nya Hidup.
Benar ? Sekali lagi. Benarkah anda sudah siap dan bertekad mau
menjalani kehidupan dan penghidupan anda, dengan selalu mengikuti,
menuruti karsanya Hidup?.
Sekali lagi, anda renungkan dan pertimbangkan masak masak. Sebab,
kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo”, berarti anda sudah sepenuhnya
menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil
(Penghayat Kapribaden).
Kalau anda mengingkari Hidup, anda akan ditagih oleh Hidup anda sendiri. Sekalipun tak seorangpun tahu.
Dalam Penghayatan ini, tidak ada Guru-Murid. Tidak ada yang Menuntun dan Dituntun.
Kalau Hidup anda sudah dapat “Asmo” , dalam menjalani laku, anda
sepenuhnya berdiri sendiri (mandiri, mandireng pribadi). Guru anda
adalah Hidup anda sendiri, Penuntun anda adalah Hidup anda sendiri. Yang
jadi murid adalah anda sendiri, yang dituntun adalah anda sendiri juga.
Bagaimana ? Siap ? Tidak ragu ragu lagi?
Kalau memang benar benar siap :
Mintalah “Asmo”-nya Hidup anda kepada Kadhang, yang memang sudah diperkenankan memberikan “Asmo”.
Setiap Penghayat, boleh, memberikan “Kunci” Hidup. Tetapi tidak setiap Penghayat diperkenankan memberikan “Asmo”-nya Hidup.
Boleh-tidaknya seseorang memberikan “Asmo”, ditentukan, diijinkan
oleh Hidup itu sendiri, karena laku yang bersangkutan. Bukan diijinkan
oleh seseorang.
Kalau dipaksakan, seseorang memberikan “Asmo”, padahal belum
diperkenankan, maka tidak akan ada gunanya “Asmo” yang diberikan itu.
Yang diberi, tidak bisa menggunakannya.
Perlu diperhatikan juga :
Penghayatan ini bersifat pribadi. Jadi, karena tidak ada satupun
kewajiban berupa Ritual, maka kalau anda menghayati Penghayatan ini, tak
akan ada seorangpun tahu, kalau tidak anda beritahu.
Jadi, kekhawatiran bahwa anda akan diketahui menghayati sesuatu,
padahal tidak anda inginkan, tidak perlu ada, lain halnya kalau anda
sendiri memberitahukan.
“Asmo”, diberikan oleh Hidup kepada Hidup.
“M I J I L “ – Sarana Gaib III
Setelah Hidup anda diberi “Asmo”, maka oleh Kadhang yang memberi
“Asmo” atau Kadhang lain yang ditugasinya, anda akan dituntun caranya
“Mijil”.
Mijil di sini, bukan berarti keluar. Mijil di sini, artinya anda
(Raganya / Manusianya), bisa Miji-hamijeni, Menyatu, bersambungan,
dengan Hidup anda.
Kata-kata “Mijil” :
1. (Asmo), jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, arso . . . . . . . . . .
(Ini digunakan hanya dalam hal hal yang bersifat spiritual – Gulung)
2. (Asmo) , jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro arso . . . . . . . . . .
(Ini digunakan, sebelum anda, raganya, manusianya, akan berbuat apa saja – Gelar)
Contoh :
1. Seorang Penghayat, dalam menjalani laku, suatu saat dihadapkan pada orang yang meminta pertolongan. Sakit misalnya.
Lalu, dalam rasanya, merasa diperkenankan menolong.
Mijilnya :
(Asmo), jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, arso
“ngusadhani ragane manungso aran . . . . . . . . . . . . . . keparengo
waras”.
Jadi, yang ngusadhani, bukan manusianya, tetapi Ingsun, yaitu hidupnya.
Itu cuma contoh. Titik titik sesudah kata arso, boleh diisi dengan bahasa apapun. Bahasa Ibu dari penghayat yang bersangkutan.
Contoh itu, tidak berarti bahwa Penghayat ini, akan jadi dukun, tugasnya mengobati orang. Sama sekali tidak.
2. Misalnya mau makan, yang makan adalah raganya, maka Mijilnya:
(Asmo) jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro “arso mangan”.
(Kaserepo kabeh sari-sarine kang dhipangan, ndhadhekake waras lan kuate raganiro”).
Itu semua, kalau anda sudah bisa Mijil.
Mijil untuk pertama kali
Untuk pertama kali, sesudah Hidup anda diberi “Asmo”, Mijilnya adalah sebagai berikut.
(Asmo) jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, “arso mbekso beksaniro pribadi”
(Ini standar, jadi siapapun, untuk pertama kali mijil, mijilnya
begini. Termasuk mereka yang orang asing / bukan orang Indonesia).
Sikap (patrap) Mijil
Kalau keadaan memungkinkan, artinya sedang sendirian, atau dalam
lingkungan kadhang sendiri, maka Mijil dengan sikap (patrap) tertentu.
Tangan di depan ulu hati, semua jari mengarah ke atas, telapak tangan
menghadap ke kiri. Tangan kiri diletakkan di pinggang sebelah kiri,
seperti orang bertolak pinggang.
Sikap (patrap) itu, merupakan lambang. Lambang pengakuan, bahwa
sekalipun Hidup itu berasal dari Tuhan, tetapi Raga kita berasal dari
Bapak dan Ibu.
Waktu Mijil pertama kali, yaitu Mijil Mbekso beksaniro pribadi kedua
lengan dan tangan atau anggota badan lain, bergerak, ikuti saja.
Jangan ditahan-tahan. Rasakan betul bagaimana rasanya kalau Mijil.
Rasa yang demikian itulah yang menandakan bahwa anda Mijil (Hidup dan raga, benar benar menyatu, saling berhubungan).
Rasa itu (rasa Mijil), harus benar benar dikenali (“dhititeni”),
karena pada saat dan keadaan biasa, anda Mijil tanpa ada gerakan, yang
ada hanya Rasa Mijil itu.
Untuk Mijil yang pertama kali, pada umumnya perlu dituntun oleh
kadhang. Salah kaprah dikatakan Mijilake (me-Mijil-kan). Padahal
sebenarnya, Hidup itu Mijil sendiri dengan Raganya.
Maka, lebih tepat dikatakan, bahwa Kadhang yang lebih dulu menghayati
itu, “menuntun caranya Mijil”. Bukan me-Mijil-kan (mijilake).
Selanjutnya, apa gunanya atau kapan digunakannya Mijil itu.
“Arep tumindak opo wae, Mijil”
(Mau berbuat atau melakukan apa saja, Mijil terlebih dahulu).
Mau makan, mau minum, mau buang air, mau mandi, mau bekerja, mau
bepergian, mau nonton bioskop, pokoknya mau apa saja, Mijil dulu.
Contoh :
1. Anda ingin pergi ke rumah seorang teman.
Anda Mijil dulu.
(Asmo, jeneng siro mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso, raganiro “mau pergi ke rumah Susanto”)
Lalu anda rasakan betul. Apa yang anda rasakan ? kalau rasanya
mengatakan “jangan”, atau ada rasa yang berat, seperti menghambat, maka
sebaiknya anda batalkan. Kalau anda tetap pergi, berbagai kemungkinan
yang tidak enak akan terjadi. Misalnya teman anda Susanto tidak di
rumah, atau anda mengalami kesulitan di jalan, atau kalaupun bertemu,
pertemuan itu menghasilkan hal hal yang tidak mengenakkan, dan berbagai
kemungkinan lain.
Kalau sesudah Mijil, lalu anda rasakan, dan rasanya mengatakan “ya”,
atau merasa tidak ada hambatan, pergilah. Hasilnya akan mengakibatkan
tentramnya semua pihak.
2. Anda ingin nonton film ke teater.
Anda Mijil, ternyata setelah dirasakan, terasa seperti dihambat, atau
tidak diijinkan. Sebaiknya rencana anda batalkan. Bisa terjadi, akan
ada tamu, yang lebih penting dari nonton film. Sedang nonton film itu,
bisa kapan saja (lain kali).
3. Anda mau berurusan dengan seseorang.
Anda mijil dulu.
Kalau rasa mengatakan “jangan”, sebaiknya urusan dengan orang itu anda batalkan. Hidup lebih tahu dari anda.
Sekalipun menurut perhitungan anda urusan dengan orang itu akan
menyenangkan, atau akan menguntungkan, tetapi kalau Hidup mengatakan
“jangan”, biasanya akibat di kemudian harinya tidak baik
Dan macam macam contoh lain bisa diberikan. Semua itu, akan anda
dapatkan sendiri, dari pengalaman dan kenyataan yang anda alami sendiri.
Maka, makin banyak kenyataan yang anda alami, bahwa Hidup itu selalu
benar, anda akan makin yakin, bahwa mengikuti petunjuknya Hidup itu
selalu baik dan benar.
Akhirnya, apapun akan dikatakan orang, bahkan apapun akan dikatakan
oleh logika dan ratio anda sendiri, anda akan lebih percaya terhadap apa
yang dikatakan Hidup.
Hidup tidak bisa berbuat jelek, tidak bisa salah.
Yang bisa berbuat jelek dan salah adalah manusianya.
Biasakanlah, mau berbuat apa saja, tidak lupa Mijil dulu. Anda akan
membuktikan sendiri kebaikan dan kebenaran hidup. Baik untuk saat itu,
maupun untuk kemudian.
Ukuran Baik-Buruk, Benar-Salah
Sebelumnya, kita pakai ukuran atau patokan mati, tentang baik-buruk,
benar-salah. Kadang kadang, patokan itu dasarnya adalah kesepakatan
manusia tentang apa yang dianggap baik dan buruk dan apa yang dianggap
benar dan salah. Sering kita jumpai, bahwa norma dan nilai nilai yang
demikian itu, berubah menurut perubahan jaman. “Owah-Gingsir”.
Selain itu, kalau sesuatu perbuatan sudah ditetapkan baik dan benar,
maka dianggap berlaku setiap saat, setiap hari, sampai norma atau nilai
itu diubah.
Misalnya, menolong orang itu dianggap baik dan benar. Tanpa harus
tahu, apakah pertolongan kita itu kemudian disalah gunakan atau tidak.
Padahal membantu orang melakukan perbuatan salah, berarti kita ikut
salah.
Oleh karena itu, sesudah anda bisa Mijil, ketentuan baik-buruk,
benar-salah, tidak lagi berpatokan pada ketentuan mati, melainkan pada
ketentuan Hidup. Suatu perbuatan yang hari ini kita lakukan, adalah baik
dan benar, belum tentu kalau perbuatan yang sama kita lakukan besok,
tetap baik dan benar
Dengan Mijil dulu, sebelum melakukan suatu perbuatan, kita tidak akan
salah kalau diijinkan oleh hidup, pasti baik dan benar. Kalau tidak
diijinkan oleh hidup, dan tetap kita lakukan, pasti buruk dan salah.
Ada kalanya, kita terpaksa melakukan sesuatu, misalnya karena
diperintah atasan, padahal kita tahu, hal itu tidak baik dan tidak
benar. Sesudah Mijilpun, kita tahu, itu tidak baik dan tidak benar.
Dalam keadaan demikian, Mijilnya adalah sebagai berikut.
(Asmo), jeneng siro Mijilo, panjenengan Ingsun kagungan karso,
raganiro arso “menjalankan perintah. Tanggung jawab kembali kepada yang
memerintah (nindhakake perintah. Tanggungjawab bali marang sing
mrentah)”. Maksudnya, tanggungjawab kepada Tuhan. Sedang tanggungjawab
secara lahiriah, kita tetap bertanggungjawab kepada yang memerintah.
Jadi, tak seorangpun tahu, bahwa sebenarnya, tanggungjawab kepada Tuhan sudah kita kembalikan kepada yang memerintah kita.
Menurut pengalaman, kalaupun terjadi sesuatu di kemudian hari, kita
akan dilindungi (“dhiayomi”) oleh Hidup. Cara, jalan dan bentuknya,
sering tidak masuk akal.
Anda, tiap bangun tidur “Kunci”, mau tidur “Kunci”, ada apa-apa
“Kunci”, tidak ada apa-apa “Kunci”. Lalu sebelum berbuat sesuatu “Mijil”
lebih dulu, dan sesudah “Mijil”, anda selalu mematuhi karsanya Hidup
(Ingsun), dan mengalahkan karsanya Aku.
Berarti, anda sudah menjadi Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil (Penghayat Kapribaden).
Tetapi, yang anda hayati dan amalkan itu, baru menapak di jalan yang
baik dan benar di dunia. Yaitu di jalan yang dikehendaki Tuhan atas diri
anda.
H a m b a t a n
Hambatan utama dalam menjalani itu semua adalah diri anda sendiri.
Makin pandai orangnya, makin besar pula hambatannya. karena otaknya
makin pandai membantah dengan berbagai argumentasi, dan makin pandai
pula membuat alasan untuk membenarkan dirinya (Aku-nya). Biasanya kalau
sudah terbentur pada keadaan kehabisan akal, baru mau menyerah kepada
kuasanya Hidup. Orang pandai, lama kehabisan akalnya.
Hambatan lain, apabila anda punya kekuasaan dan banyak uang.
Seolah-olah segala kesulitan, persoalan, bisa anda atasi dengan
kekuasaan dan atau uang anda.
Baru mau menyerah kepada kuasanya Hidup, kalau persoalan atau
kesulitan yang dihadapi, tidak bisa diatasi dengan kekuasaan dan uang
yang anda miliki.
Contoh tentang hal ini banyak sekali.
1. Persoalan yang dihadapi menyangkut soal suami / isteri, atau anak.
Kekuasaan yang anda miliki akan sangat berdaya terhadap ribuan orang lain, tetapi tidak berdaya terhadap keluarganya sendiri.
2. Anda atau keluarga anda sakit. Selama dokter/ilmu kedokteran masih
bisa membantu untuk menyembuhkan, anda akan menggunakan kekuasaan dan
uang anda. Anda lalu menganggap semua bisa diatasi dengan kekuasaan dan
uang . Tetapi, kalau dokter dan ilmu kedokteran sudah tidak sanggup,
baru anda lari minta pertolongan orang tua, orang pinter. Jadi anda cari
yang Gaib.
Padahal, tentram itu bukan kalau bisa mengatasi berbagai persoalan
yang silih berganti, tetapi menjalani kehidupan dan penghidupan ini
tanpa persoalan (atau sedikit sekali persoalannya). “Tentrem iku yen ora
ono opo opo”.
Orang yang tenteram, tidak terlalu terombang-ambing oleh gelombangnya
senang-susah, puas-kecewa, tetapi ada atau tidak ada apa apa, selalu
diliputi rasa bahagia.
Segalanya dia jalani dengan sungguh sungguh, tetapi apapun hasilnya
selalu dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk menentukan. Jelas
kiranya, bahwa musuh utama dalam menjalani laku ini, adalah A K U.
“Aku”, sejak asalnya (“gawan bayi”) selalu berisikan :
1. Kesombongan (arrogancy);
2. Egoisme dan Egocentrisme (mementingkan diri sendiri dan memandang segala sesuatu hanya dari sudut pandangnya sendiri);
3. Nafsu (lust);
4. Angkara (kesrakahan);
5. Kemalasan;
6. Ketidak acuhan (ignorancy).
Sifat sifat “Aku” itu selalu bertentangan dengan sifat sifat Hidup (Ingsun).
Maka, kalau ingin bisa lancar menjalani laku ini, harus bisa mengalahkan “Aku” dalam diri kita masing masing
Mengalahkan “AKU”
“AKU” itu begitu kuatnya, karena selain sudah jadi bawaan kita masing
masing sejak lahir, dalam pertumbuhan kita, sengaja atau tidak,
“AKU”-lah yang selalu kita kembangkan.
Makin bertambah umur kita, makin kuat pula “AKU” kita, kalau selama itu kita tidak berusaha sungguh sungguh mengalahkannya.
Kita kenal, bahwa orang tua makin susah dimengerti, makin susah
diajak kompromi, kalau sudah begini maunya ya harus begini, dan
seterusnnya. Itu karena “AKU”-nya sudah terlanjur kokoh-kuat berakar.
Maka, tidaklah cukup kalau mau mengalahkan “AKU” hanya dengan tekad. Karena yang punya tekad itu juga “AKU”.
Mengalahkan “AKU” harus dengan Laku. Dan masih harus dibantu dengan cara, dengan sarana Gaib.
Laku membersihkan Raga (Laku pangumbahing Rogo)
Laku membersihkan Raga ini, pada hakekatnya merupakan upaya mengalahkan “AKU”.
Membersihkan Raga bukan dengan mandi 10 kali sehari, tetapi dengan Laku.
Laku itu adalah :
1) Sabar;
2) Narimo;
3) Ngalah;
4) Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae;
5) Ikhlas
Penjelasannya :
Ad.1. Sabar
Sabar, bukan asal tidak marah.
Memaksakan sesuatu sebelum waktunya, juga termasuk tidak sabar.
Contoh Sabar yang baik adalah seorang ibu yang mengandung. Dengan
penuh rasa cinta kasih, dia pelihara kandungannya, sampai cukup
bulannya. Tak seorang ibupun ingin anaknya lahir sebelum waktunya.
Sabar, harus benar benar terasa sampai sedalam-dalamnya. Berpura-pura
sabar, padahal di dalam dirinya marah bergejolak, tidak benar dalam
laku ini. Ini yang dinamakan Laku Pura-pura suci. “Laku semuci-suci.”
Misalnya karena usia, atau kedudukan, sehingga dirinya dituakan. Lalu
sekalipun sebenarnya marah, tetap tersenyum. Hal ini baik kalau untuk
seorang diplomat. Tetapi tidak benar dalam menjalani laku ini.
Orang Sabar, dalam segala hal berpedoman, step by step slow but sure,
biar lambat asal selamat, alon-alon waton kelakon (kanti becik lan
bener).
Penyakit penyakit seperti Hypertensi (tekanan darah tinggi), neurosis
(gangguan keseimbangan emosi), insomnia (tidak bisa tidur) dan
semacamnya, akan jauh.
Ad. 2. Narimo
Istilah narimo, sering disalah artikan.
Narimo yang sebenarnya, adalah sifat manusia yang dalam segala hal,
berusaha semaksimal mungkin (atau seoptimal mungkin), tetapi sejak
awalnya selalu menyadari dan selalu siap bahwa Tuhanlah yang menentukan.
(Man purposes, God disposes).
Kekecewaan demi kekecewaan yang bisa berakibat (strain), jarang menghinggapi orang yang “narimo”.
Ad. 3. Ngalah
Hanya orang yang menang yang bisa mengalah.
Mengalah yang sebenarnya, adalah kalau kita sampai merasakan senang atau bahagia.
Misalnya, seorang ayah yang punya anak berumur 4 tahun. Sehabis
melihat tinju di televisi, lalu mengajak bertinju ayahnya, di tempat
tidur. Sang ayah mengalah, pura pura knock out. Anaknya senang, dan
berlagak menjadi juara. Tentu saja, ayahnya yang mengalah itu merasa
senang dan bahagia.
Sering kita alami, menghadapi seseorang yang ngotot ingin menang,
karena pengetahuan dan pengalamannya yang masih dangkal. Kita mengalah,
karena menganggap menghadapi kanak kanak. Kalau kita memang menyayangi
orang itu, kita merasa senang melihat dia puas.
Ad. 4. Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae.
(Cinta, kasih dan sayang kepada apa dan siapa saja).
Jadi kita selalu berusaha mencintai dan mengasihi apapun yang ada,
dan siapapun yang kita hadapi. Mencintai apa saja, maksudnya mencintai
benda, mencintai pekerjaan, mencintai binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Mencintai siapa saja, adalah mencintai sesama manusia, tanpa pilih
pilih. Menghadapi siapapun, kita landasi rasa cinta pada diri kita.
Gambaran tentang ini.
Romo Herucokro Semono, suatu saat ditanya. “Kalau lakunya Putro diumpamakan anak sekolah, apa tandanya kelasnya sudah tinggi?”
Jawaban beliau : “Tandanya Putro lakunya sudah jauh, kalau jangankan
manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sekalipun, semua mencintai kamu,
karena kamu senantiasa menanam cinta kasih”.
(“Tandane Putro lakune wis adoh, lamun ojo maneh kang asipat jalmo
manungso, kewan tetuwuhan pisan podo tresno marang jeneng siro, amargo
siro tansah nandhur katresnan”).
Ad. 2. Narimo
Istilah narimo, sering disalah artikan.
Narimo yang sebenarnya, adalah sifat manusia yang dalam segala hal,
berusaha semaksimal mungkin (atau seoptimal mungkin), tetapi sejak
awalnya selalu menyadari dan selalu siap bahwa Tuhanlah yang menentukan.
(Man purposes, God disposes).
Kekecewaan demi kekecewaan yang bisa berakibat (strain), jarang menghinggapi orang yang “narimo”.
Ad. 3. Ngalah
Hanya orang yang menang yang bisa mengalah.
Mengalah yang sebenarnya, adalah kalau kita sampai merasakan senang atau bahagia.
Misalnya, seorang ayah yang punya anak berumur 4 tahun. Sehabis
melihat tinju di televisi, lalu mengajak bertinju ayahnya, di tempat
tidur. Sang ayah mengalah, pura pura knock out. Anaknya senang, dan
berlagak menjadi juara. Tentu saja, ayahnya yang mengalah itu merasa
senang dan bahagia.
Sering kita alami, menghadapi seseorang yang ngotot ingin menang,
karena pengetahuan dan pengalamannya yang masih dangkal. Kita mengalah,
karena menganggap menghadapi kanak kanak. Kalau kita memang menyayangi
orang itu, kita merasa senang melihat dia puas.
Ad. 4. Tresno welas lan asih marang opo lan sopo wae.
(Cinta, kasih dan sayang kepada apa dan siapa saja).
Jadi kita selalu berusaha mencintai dan mengasihi apapun yang ada,
dan siapapun yang kita hadapi. Mencintai apa saja, maksudnya mencintai
benda, mencintai pekerjaan, mencintai binatang dan tumbuh-tumbuhan.
Mencintai siapa saja, adalah mencintai sesama manusia, tanpa pilih
pilih. Menghadapi siapapun, kita landasi rasa cinta pada diri kita.
Gambaran tentang ini.
Romo Herucokro Semono, suatu saat ditanya. “Kalau lakunya Putro diumpamakan anak sekolah, apa tandanya kelasnya sudah tinggi?”
Jawaban beliau : “Tandanya Putro lakunya sudah jauh, kalau jangankan
manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan sekalipun, semua mencintai kamu,
karena kamu senantiasa menanam cinta kasih”.
(“Tandane Putro lakune wis adoh, lamun ojo maneh kang asipat jalmo
manungso, kewan tetuwuhan pisan podo tresno marang jeneng siro, amargo
siro tansah nandhur katresnan”).
Ad. 5. Ikhlas
Pada umumnya, orang mengatakan ikhlas, kalau sudah terlanjur kehilangan sendiri, memberikan sesuatu.
Dalam laku ini, yang dimaksud Laku Ikhlas, adalah :
Setiap saat, menyadari sepenuhnya, bahwa segala yang ada pada
dirinya, seperti kepandaian, pengalaman, kemampuan karena kekuasaan atau
kekayaan yang dimiliki, tenaga, pikiran, waktu, bahkan orang-orang yang
dicintai, semuanya adalah milik Tuhan Yang Maha Esa.
Maka, setiap saat siap, apabila semua yang ada pada dirinya itu,
dikehendaki Pemiliknya, Tuhan yang Maha Esa, mau digunakan untuk
sesuatu.
Kehendak Tuhan itu, diketahuinya melalui Hidup yang ada pada dirinya.
Jadi, ikhlas tidak hanya kalau kehilangan atau memberi, tetapi juga ikhlas menerima apapun.
Misalnya, seseorang, oleh Presiden, diangkat menjadi Menteri
Kesehatan. Dia menerimanya sebagai kehendak Tuhan, yang disampaikan
melalui Presiden, bahwa dirinya dipercaya untuk menyehatkan 180 juta
rakyat Indonesia. Jadi, keadaan kesehatan seluruh rakyat, harus dia
pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Dia harus narimo dan ikhlas menerima
beban, tugas dan kewajiban itu. Sama sekali tidak memandang dari segi
kekuasaan, kehormatan, penghasilan yang didapatnya. Itu tidak kekal.
Tetapi kalau dia bisa menjalankan kewajibannya yang diberikan Tuhan
dengan baik, berarti dia melangkah lebih mendekatkan dirinya kepada
Tuhan. Ini akan lebih kekal akibat atau hasilnya.
Kalau seseorang diberi kekayaan melimpah, jauh melebihi kebutuhannya,
dia harus Narimo dan Ikhlas menerima, bahwa dirinya diberi tugas yang
lebih besar bagi kesejahteraan, kebahagiaan sesamanya.
Kalau seseorang diberi kepandaian lebih dari sesamanya, dia harus
Narimo dan Ikhlas mendapatkan tugas memberikan kepandaiannya itu kepada
sesamanya. Dan bukan untuk menguasai sesamanya.
Semua kelebihan yang diberikan itu harus digunakan dengan tepat. Hidup yang tahu, untuk apa dan siapa.
Kalau tidak, maka apabila saatnya datang, Hidupnya tidak akan bisa
langsung kembali kepada Tuhan, karena masih ada beban yang tertinggal.
Sudah mampukah kita mengalahkan “AKU” ?
Belum. “AKU” begitu perkasa dan begitu dalam mengakar dalam diri kita.
Maka sesudah bisa menjalani 5 (lima) Laku pembersih raga, kita masih memerlukan bantuan Sarana Gaib, untuk mengalahkan “AKU”
Sarana Gaib IV yang anda perlukan.
S I N G K I R – Sarana Gaib IV
“Singkir” ini, gunanya untuk menipiskan “AKU” dengan segala sifatnya, termasuk angkara murka dalam diri kita sendiri.
Kata-kata “Singkir” :
Gusti Ingkang Moho Suci,
kulo nyuwun pangapuro dumateng Gusti Ingkang Moho Suci;
Sirolah, Dhatolah, Sipatolah;
Kulo sejatine satriyo / wanito;
Hananiro – hananingsun;
Wujudiro – wujudingsun;
Siro sirno mati dhening satriyo / wanito sejati;
Ketiban idhuku putih, sirno layu dhening (Asmo).
Pada saat-saat senggang, kalau pikiran anda sedang jernih dan tenang, berlatihlah menggunakan “Singkir” ini.
Makin lama, “AKU” di diri anda akan makin menipis.
Ini akan memudahkan anda menjalani laku, karena “AKU”-lah biasanya
yang selalu menentang, melawan kehendak Hidup, kalau mau anda lakukan.
“AKU” selalu tampil dengan berbagai dalih dan alasan, agar anda batal
menjalankan karsanya Hidup.
Sampai dimana Laku anda sekarang :
Bangun tidur “Kunci”, mau tidur “kunci”, ada apa-apa “Kunci, tidak ada apa-apa “Kunci”.
Mau berbuat / melakukan apa saja Mijil dulu. Sesudah Mijil, selalu
melaksanakan karsanya ingsun (Hidup). Kalau bertentangan dengan kehendak
“AKU”, maka kehendak “Aku” yang dikalahkan.
Selalu Sabar, Narimo, Ngalah, Tresno welas asih dan Ikhlas, dibantu “Singkir” mampu menipiskan “AKU” dalam diri sendiri.
Kalau benar, sekali lagi kalau benar anda sudah demikian itu, maka
besar sekali kemungkinannya anda bisa menggunakan Sarana Gaib ke-V,
yaitu Paweling.
P A W E L I N G
Kata-kata Paweling :
Siji-siji, loro-loro, telu-telonono,
Siji sekti, loro dadi, telu pandito,
Siji wahayu, loro gratrahino, telu rejeki
Awas : jangan sampai anda keliru dengan “Aji Pameling” yang digunakan orang untuk berkomunikasi jarak jauh semacam telepathy.
Apabila anda memang sudah seperti yang digambarkan di depan, maka Paweling ini bisa anda gunakan dalam arti yang sebenarnya.
Paweling adalah Sarana Gaib untuk menghubungkan Hidup dalam diri anda
dengan HIDUP yang meliputi (ngalimpudhi) alam semesta seisinya, yaitu
Tuhan Yang Maha Esa.
Keadaan yang demikian itu, yang sesungguhnya disebut Manunggal.
Juga disebut Manunggalnya Kawulo Gusti, atau manunggalnya Putro
dengan ROMO, atau Manunggalnya Hidup dengan HIDUP yang menghidupi.
(Putro adalah Hidup yang ada dalam diri kita, sedang ROMO adalah
HIDUP yang meliputi, menggerakkan dan menguasai alam semesta seisinya).
Apabila anda benar bisa menggunakan Paweling, anda akan dalam keadaan Manunggal / Menyatu dengan Alam.
Keterbatasan anda sebagai manusia, lenyap (dimensi ruang dan waktu).
Anda akan mengalami berada di lebih dari satu tempat, dalam waktu
bersamaan. Tetapi keberadaan anda itu bukan hanya “bayangan” anda,
melainkan benar benar anda. Ditiap tempat, anda misalnya sama sama
makan-minum dan berbuat seperti biasa. Disaksikan orang lain. Bahkan,
anda bisa berada misalnya di 2 tempat, termasuk mobil andapun jadi dua.
Hal ini beberapa kali sudah terjadi atas seseorang Penghayat laku ini,
dan saksi-saksinya masih hidup.
Tentu saja, kita tidak akan mungkin terus-menerus dalam keadaan manunggal dengan Tuhan. Kita tidak akan kuat.
Maka, kalau sekali sekali diperkenankan merasakan, kita sudah
mendapat anugerah yang tak ternilai. Ini berarti bahwa kita pernah
menjalani “jalan kembali” kita kepada Tuhan.
Suatu kenikmatan dan kebahagiaan tertinggi yang bisa dicapai Manusia.
Apabila seseorang dalam keadaan tersebut, maka apa yang diucapkan
akan terjadi. Sekalipun tidak masuk akal. Atau akal manusia tidak
sampai. Meskipun pada mulanya semua orang tidak percaya dan bahkan
membantah, akan terbukti bahwa ucapannya jadi kenyataan. Dan barulah
orang terpaksa mengakui, sekalipun akalnya tetap tidak bisa menerima.
Lalu, paling paling, disebutnya mujijat, ajaib.
BEBERAPA CATATAN SEBAGAI PENJELASAN
Laku Gelar-Gulung
Gelar artinya yang lahiriah. Gulung artinya yang spiritual, yang gaib.
Penghayat Laku Kasampurnan Manunggal Kinantenan Sarwo Mijil, lakunya Gelar-Gulung.
Artinya :
Apapun yang diterima Gulung, yaitu karsanya Hidup yang tertangkap Rasa, segera di Gelarkan, dilaksanakan.
Catatan :
Karsanya Hidup (“dawuhe Urip”), apabila diterima (di Rasa, juga disebut Roso Jati), harus segera dilaksanakan.
Kalau ditunda pelaksanaannya, kita tidak akan mendapat bukti
kebenaran “dawuh” itu. Tidak akan terjadi, “dawuh” diberikan, tetapi
belum waktunya (belum “titi wanci”). Hidup tidak akan memberikan
“dawuh”-nya, kalau belum waktunya dilaksanakan.
Itu yang disebut “nggelarake gulung”. Maka ada rumus bagi Putro (penghayat laku ini), yaitu :
Krenteg, Budhi, Ono
(Timbul rasa, tergerak rasanya, langsung bertindak, dilaksanakan, akan ada buktinya).
Sebaliknya :
Apapun yang dialami, dihadapi, harus selalu di-Gulung. Artinya,
apapun yang kita alami, kita hadapi, harus Mijil, untuk ditanyakan
kepada hidup, apa sebenarnya makna dari kejadian yang kita alami atau
hadapi itu.
Ini yang dinamakan “Nggulung samubarang kang sipat Gelar” (meng-Gulung yaitu mengecek ke dalam, semua yang bersifat lahiriah).
Jadinya, kita tidak gegabah menyimpulkan segala sesuatu yang kita
alami, kita hadapi, karena kita tahu, makna dan maksud yang tersembunyi
di balik kejadian itu. Dengan bahasa lain, kita tahu, apa yang
sebenarnya menjadi kehendak Tuhan, yang diterima oleh Hidup dalam diri
kita.
Sering, kita alami kejadian yang tidak mengenakkan diri kita. Setelah
di Gulung, kita tahu, bahwa sebenarnya itu merupakan peringatan atau
petunjuk dari Tuhan. Dan ini, hanya Hidup yang tahu. Ini sebenarnya yang
disebut menemukan hikmah dari segala kejadian. Bukan dengan
menghubung-hubungkan melalui pikiran kita (“ngotak-atik gatuk”).
Melatih laku kita
Arena paling baik untuk berlatih menjalani laku ini, adalah dalam
keluarga kita masing masing. Kalau dalam keluarga kita sendiri, kita
sudah bisa seperti digambarkan didepan, kita melatih diri di arena yang
lebih luas. Misalnya di tempat kita bekerja, atau di dalam kita
bermasyarakat.
Tetapi, ada arena yang sangat efektif untuk berlatih, yaitu dalam Sarasehan bersama-sama kadhang kadhang kita.
Romo Herucokro Semono :
“Nek beras sak las dhideplok, mesti ajur. Nanging nek beras sak
lumpang, jenenge dhisosoh. Ora amargo soko alune utowo lumpange, nanging
amargo gosok ginosok antarane las siji karo sijine, dhadhi podo
mlecete, dhadhi podo putihe”.
(Kalau sebutir beras ditumbuk pasti hancur, tetapi kalau banyak,
ditumbuk, bukan karena penumbuknya atau tempatnya, melainkan butir yang
lain, lalu sama sama terkelupas, sama sama menjadi putih)
Jadi saling gosok (gosok-ginosok) antara sesama kadhang, akan sangat mempercepat proses laku kita.
Memang, digosok itu tidak enak, kadang kadang agak sakit, tetapi
kalau kita takut tergosok, kita tidak akan pernah jadi putih (bersih).
Kebersamaan sesama penghayat Laku ini
Seorang penghayat dengan penghayat lain disebut “Kadhang”.
“Kadhang” di sini, artinya seseorang yang hubungannya melebihi saudara kandung.
Romo Herucokro Semono :
“Sedhulur sakringkel iku sing podo mung kulit-dhaginge, dhadhi bisa
bosok, nek kadhang iku Uripe, dhadhi tansah rante-rinante rasane”.
(Saudara kandung itu yang sama hanya kulit-dagingnya, jadi bisa
busuk, kalau kadhang itu Hidupnya, jadi seperti mata rantai, yang
rasanya selalu berhubungan).
Kebersamaan para penghayatnya dinamakan “Kekadhangan”.
“Kekadhangan” ini terbentuk secara alamiah, kalau masing masing memang benar benar mengikuti Hidup.
Di depan sudah dikatakan, bahwa Hidup itu sama, sebenarnya Satu.
Maka, kalau masing masing mengikuti Hidup, akan tertarik untuk menyatu. Bukan cuma bersatu.
Menyatunya sesama Penghayat menimbulkan ke-Guyub-Rukunan yang murni.
Tidak dibuat-buat; bukan karena ada pamrih, dan lebih lebih tidak karena
dipaksa.
Segala perbedaan lahiriah hampir tidak nampak dan tidak terasa.
Kalaupun masih ada, hanya terbatas pada sikap yang didasarkan pada etika
(sopan-santun, tata-krama). Yang muda menghormati yang tua, yang tua
menghargai yang muda.
Yang tua dihormati karena memiliki kematangan jiwa disebabkan
pengalaman dan kedalaman lakunya (“temuwo”), sedang yang muda dihargai
karena kelebihan kepandaian dan semangatnya untuk menimba
sebanyak-banyaknya, serta kemampuannya untuk bergerak aktif, dinamis,
dan kreatif.
Dalam kegiatan apapun, tanpa direncana tanpa diatur. Masing-masing
mengikuti Rasanya. Gaib yang mengatur. Dan hasilnya, apa yang dilakukan
para penghayat itu, saling isi-mengisi, semuanya lengkap, terpenuhi, dan
hasilnyapun membuat bahagia semua orang.
Kunci, Asmo, Mijil, Singkir, Paweling itu bukan doa, bukan “rapal”, bukan mantera atau mantram.
KUNCI
Sering dikatakan, “Moco Kunci ping pitu, nanging pitu iku dhudhu
etungan”. (Membaca Kunci tujuh kali, tetapi tujuh itu bukan hitungan).
Yang dimaksud :
“Membaca” Kunci, harus sampai benar-benar dirasakan, bahwa 7 (tujuh)
lapis Raga, masing-masing, dan seluruhnya, menyembah kepada Hidup.
Jadi, benar-benar sampai terasa. Rasanya kalau 7 lapis Raga,
seluruhnya sudah terkena dayanya Kunci, dan menyembah dalam arti pasrah
kepada Hidup.
Kalau “membaca” Kunci masih bisa menghitung, berarti masih “membaca”
dengan pikirannya, belum dengan Rasa. Rasa tidak pernah bisa dihitung.
Contoh :
Kita bisa menghitung buah sawo, tetapi kita tidak bisa menghitung rasanya sawo.
Banyak orang yang menggunakan Kunci, masih memperlakukannya sebagai
“rapal” atau mantera. Asal kata-katanya sudah “dibaca” dalam batin.
Banyak juga yang “membaca” Kunci masih dihitung.
Sekalipun yang demikian itu juga mendapat pembuktian (paseksen), tetapi bukan itu yang sebenarnya.
Kalau “membaca” Kunci dengan Rasa maka tidak dihitung, sampai
berhenti sendiri. Jangan dipikir, sampai di mana berhentinya, apalagi
sudah berapa kali saat berhenti. Asal sudah berhenti, artinya 7 (tujuh)
lapis Raga sudah seluruhnya menyembah dan berserah diri (pasrah) kepada
kuasa dan pengayomannya Hidup.
Kalau berlatih “membaca” Kunci begini lama kelamaan kita bisa
“membaca Kunci dalam waktu singkat sekali. Bahkan tanpa kata-kata
(unen-unen) Kunci lagi.
Terbuktilah apa yang dikatakan Romo Herucokro Semono, bahwa “Kunci”
iku dhudhu unine, dhudhu unen-unene, nanging kang mahanani uni” (Kunci
itu bukan bunyinya, bukan kata-katanya, tetapi yang menyebabkan bunyi).
Jadi Gaib.
Jangan terjerumus, menjadikan “membaca” Kunci sebagai Ritus (cara
ritual). Rutinitas ritual, sering menjerumuskan kita pada pendangkalan
penghayatan. Hanya kulitnya dan tidak rasanya.
M I J I L (sudah mencakup Asmo)
Masih banyak yang memperlakukan Mijil sebagai mantera.
Misalnya, mau pergi, Mijil dulu. Asal sudah mengucapkan kata-katanya Mijil, langsung pergi.
Padahal, maksudnya Mijil, agar seseorang, sebelum berbuat sesuatu, mendapat Petunjuknya Hidup.
Boleh atau tidak. Kalau bolehpun, akan mendapat petunjuk, apa, berapa, bagaimana, selanjutnya.
Contoh :
Kita mau pergi ke suatu tempat. Kita Mijil, dan tetap “hening”, lalu
mendapatkan rasa, diijinkan. Rasa juga memberi petunjuk, agar lewat
jalan tertentu. Barulah kita pergi.
Seseorang minta bantuan kita, sedang kita memang mampu dan bisa memberikan bantuan itu. Misalnya berupa uang.
Kita Mijil. Akan kita terima di rasa, boleh atau tidak. Kalau tidak,
mungkin saja karena bantuan kita itu akan dia gunakan yang tidak baik
dan tidak benar. Kalau diijinkanpun, kita akan mendapat petunjuk berapa
besarnya bantuan itu yang seharusnya (menurut Hidup) kita berikan.
Dengan Mijil yang benar seperti itu, tujuannya agar jangan sampai
kita berbuat “luput”, berbuat salah menurut ukuran Hidup (ukuran yang
paling baik dan paling benar = beciking-becik lan benering bener).
S I N G K I R
Masih banyak yang menerima wulang-wuruk Romo Herucokro Semono, yang diberikan dengan “sanepan” , kiasan, diterima mentah mentah.
Singkir digunakan untuk menghadapi bahaya angin taufan (lesus),
bahaya api (kebakaran), gempa bumi (lindu) dan gunung meletus. Ini
kiasan, “sanepan”.
Yang dimaksud adalah di dunia kecil, jagad cilik, micro cosmos, yaitu diri kita sendiri.
Angin taufan, adalah suara yang tidak enak didengar. Misalnya fitnah,
cacian, celaan, sindiran, bahkan kritikan terhadap diri kita.
Akibatnya, api berkobar dalam diri kita. Kita jadi tidak tenang, yang
berarti dunia kita gempa bumi. Kalau sudah tidak tahan, mulut kita akan
meledak, buruk, yang berarti gunungnya meletus.
Semua itu, disebabkan karena “AKU” dalam diri kita yang bekerja (makarti). Jadi itu kelakuan Sang “AKU”.
Untuk mengurangi sebanyak mungkin terjadinya angin taufan, api, gempa dan meletusnya gunung diri kita itu, diberikanlah Singkir.
PAWELING
Dua macam kesalah fahaman sering terjadi terhadap Paweling ini.
Yang pertama, memperlakukan paweling seperti Aji pameling. Digunakan
untuk berhubungan dengan orang lain (kadhang) dari jarak jauh. Kalaupun
bisa, sayang sekali. Itu sama dengan “Menembak burung dengan meriam.
Burungnya terbang, pohonnya tumbang”.
Yang kedua, memperlakukan Paweling seperti telepon, untuk menelepon ROMO, Gusti Ingkang Moho suci , Tuhan Yang Maha Esa.
Mohon petunjuk atau “dawuh” bagi dirinya. Lalu apa yang didapat, dianggapnya sebagai “dawuh”-nya ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Ini sama dengan orang yang diberi satelit komunikasi, lalu hanya
digunakan untuk pacaran. Jadi kalau benar benar ada “dawuh” dari ROMO,
Gusti Ingkang Moho suci, saluran kita tertutup.
Untuk mengatur, melindungi, memelihara Diri Kita (jagad-cilik, micro
cosmos), bahkan untuk memberi pada diri kita, Gusti Ingkang Moho Suci
memberikan kuasaNya (mandatNya) kepada Hidup yang ada dalam diri kita
masing masing.
Jadi tidak perlu dan tidak ada gunanya, membawa-bawa ROMO, Gusti
Ingkang Moho suci. Salah salah, petunjuk atau “dawuh”-nya Hidup (Urip),
kita kira petunjuk atau “dawuh”-nya ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Petunjuk atau “dawuh” dari ROMO, Gusti Ingkang Moho suci, selalu
menyangkut umum, bukan diri kita pribadi. Dan selalu ada tanda tanda,
misalnya juga diterima sama oleh orang lain. Petunjuk atau “dawuh”
seperti ini, bisa menyangkut diri kita , bisa diri kita tidak ada
sangkut-pautnya sama sekali secara Gelar (lahiriah), Dan pasti terjadi,
sekalipun menurut perhitungan nalar ribuan orang tidak mungkin.
Contoh “dawuh” ROMO, Gusti Ingkang Moho suci :
Tahun 1978, seorang penghayat Kapribaden, menyatakan bahwa Komunisme di Rusia dan Eropa Timur akan hilang
Tak seorangpun, saat itu mau percaya. Dan bahkan semua menyatakan tidak mungkin. Ternyata benar benar terjadi.
Lama sebelum terjadi, seorang Penghayat Kapribaden, menyatakan bahwa
Amerika dan Sekutunya akan menyerang Irak. Bantahan dengan berbagai
analisa dikemukakan (analisa intelejen), yang menyatakan tidak mungkin,
karena Amerika akan mempertimbangkan keikut sertaan Uni Sovyet membantu
Irak.
Ternyata yang terjadi sesuai “dawuh” dan tidak sesuai dengan berbagai analisa akal pikiran.
Banyak lagi, contoh lain.
Oleh karena itu, seyogyanya jangan sembarangan menggunakan Paweling.
Kalau paweling kita gunakan sembarangan, nantinya kita malah tidak bisa
menggunakan Paweling yang sebenarnya, yaitu untuk manunggal-kan Urip
dengan URIP, Putro dengan ROMO, Gusti Ingkang Moho suci.
Sumber :
http://orishop.000space.com