Om Swastyastu
Landasan Sastra Hari Suci Purnama
Sungguh
merupakan suatu keberuntungan bahwasanya umat Hindu banyak mempunyai
hari-hari suci dan tempat-tempat suci. Hal ini menandakan bahwa potensi
untuk memuja ke arah perbaikan karakter dan budi pekerti selalu ada.
Karena tempat-tempat suci lebih banyak mengandung energi vibrasi
kebaikan, aura kedamaian dan ketenangan. Jika hati dan pikiran sedang
sumpek atau diliputi oleh angkara murka maka seseorang dianjurkan untuk
mengunjungi tempat-tempat suci tersebut.
Pumama
merupakan hari suci bagi umat Hindu, yang harus disucikan dan dirayakan
untuk memohon waranugraha dari Hyang Widhi. Pada hari Purnama adalah
payogaan Sanghyang Chandra sementara pada hari Tilem adalah payogaan
Sanghyang Surya. Kedua-duanya sebagai kekuatan dan sinar suci Hyang
Widhi dalam manifestasiNya berfungsi sebagai pelebur segala mala
(kekotoran) yang ada di dunia. Di dalam Sundarigama, ada disebutkan
sebagai berikut :
“Muah
ana we utama parersikan nira Sanghyang Rwa Bhineda, makadi, sanghyang
surya candra, atita tunggal we ika Purnama mwang Tilem. Yan Purnama
Sanghyang Wulan ayoga, yan ring Tilem Sanghyang Surya ayoga ring sumana
ika, para purahita kabeh tekeng wang sakawangannga sayogya
ahening-hening jnana, ngaturang wangi-wangi, canang biasa ring sarwa
Dewa pala keuannya rin Sanggar, Parhyangan, matirtha gocara puspa
wangi”.
Ada
hari-hari yang utama penyelenggaraan upacara persembahyangan yang sejak
dahulu sama nilai keutamaannya yaitu pada hari Purnama dan Tilem. Pada
hari Purnama, bertepatan dengan Sanghyang Candra beryoga dan pada hari
Tilem, bertepatan dengan saat Sanghyang Surya beryoga memohonkan
keselamatan dunia kehadapan Hyang Widhi Wasa. Pada hari suci yang
demikian itu sudah seyogyanya para rohaniawan dan semua umat manusia
menyucikan dirinya lahir bathin dengan melakukan upacara persembahyangan
di Sanggar-sanggar atau Parhyangan-parhyangan dan menghaturkan yadnya
kehadapan Hyang Widhi.
Lebih lanjut, di dalam Clokantara disebutkan juga sebagai berikut :
"Kalingannya, yan Purnama Tilem kala Sang Sadhujana menghanaken punyadhana tunggal mulih sepuluh ika de Bhatara”.
Bila
pada hari Purnama atau Tilem umat manusia menghaturkan upakara yadnya
dan persembahyangan kehadapan Hyang Widhi, dari nilai satu aturan
(bhakti) yang dipersembahkan itu akan mendapat imbalan anugrah bernilai
sepuluh dari Hyang Widhi.
Demikianlah
hari Purnama itu yang merupakan hari suci yang harus dirayakan oleh
umat Hindu untuk memohon waranugra berupa keselamatan dan kesucian lahir
bathin. Pada hari Purnama hendaknya mengadakan upacara-upacara
persembahyangan dengan rangkaiannya berupa upakara yadnya sebagai salah
satu aspek daripada pengamalan ajaran agama.
Hari
Purnama jatuh setiap bulan penuh (Sukla Paksa), sedangkan Tilem jatuh
setiap bulan mati (Krsna Paksa). Baik Purnama maupun Tilem datangnya
setiap 30 atau 29 hari sekali.
Mitologi Gerhana Bulan
Kisah
ini terjadi ketika para Raksasa dan para Dewa bekerja sama mengaduk
lautan susu untuk mencari “ Tirtha Amertha “ atau Tirtha Kamandalu.
Konon siapa saja yang meminum Tirtha itu maka dia akan abadi (tidak
bisa mati ). Maka setelah tirtha itu didapatkan kemudian dibagi rata.
Tugas untuk membagi Tirtha itu tidak lain adalah Dewa Wisnu yang
menyamar menjadi gadis cantik, lemah gemulai. Dalam kesepakatan diatur
bahwa para Dewa duduk di barisan depan sedangkan para Raksasa di barisan
belakang. Kemudian ada raksasa yang bernama “ Kala Rahu “ yang menyusup
di barisan para Dewa, dengan cara merubah wujudnya menjadi Dewa. Namun
penyamarannya ini segera diketahui oleh Dewa Chandra / Bulan. Maka
ketika tiba giliran raksasa Kala Rahu mendapatkan “ Tirtha Keabadian “.
Disitulah Dewa Candra berteriak “ Dia bukan Dewa, dia adalah raksasa
Kala Rahu “ namun sayang Tirtha tersebut sudah terlanjur diminum. Maka
tak ayal lagi Cakra Dewa Wisnu menebas leher Sang Kala Rahu. Tetapi
karena lehernya sudah tersentuh oleh Tirtha Keabadian sehingga tidak
bisa mati, wajahnya tetap abadi dan
melayang-layang di angkasa, sedangkan tubuhnya mati karena belum sempat
tersentuh oleh Tirtha Kamandalu. Sejak saat itu dendamnya terhadap Dewa
Bulan tak pernah putus-putus. Dia selalu mengincar dan menelan Dewa
Chandra pada waktu Purnama. Tapi karena tubuhnya tidak ada maka sang
rembulan muncul kembali ke permukaan. Begitulah setiap Sang Kala Rahu
menelan Dewa Bulan, terjadilah gerhana.
Bulan yang terang benderang kemudian berubah menjadi gelap-gulita,
itu disebut dengan gerhana bulan. Tanda -tanda alam seperti ini sering
dihubung-hubungkan akan terjadinya peristiwa di bumi. Misalnya beberapa
hari atau beberapa minggu di daerah tertentu terjadi bencana alam, wabah
penyakit, keributan atau bentrok antar masa dan sebagainya. Untuk
menggantisipasi hal tersebut, orang-orang yang bijaksana, orang-orang
wikan, para sesepuh, para rohaniawan dan yang mengetahui seluk-beluk
kejadian tanda-tanda alam, biasanya sepakat melakukan yoga semadhi dan
mendoakan agar bumi ini terhindar dari bencana.
Gerhana
juga diidentikan dengan seseorang yang tadinya riang gembira, bersuka
ria, bersika cita, tiba-tiba berubah murung sedih, karena ada salah satu
anggota keluarga yang meninggal atau tertimpa musibah. Orang yang
demikian dikatakan hatinya diiputi oleh gerhana. Tradisi di Bali jika
terjadi gerhana bulan, maka orang-orang sibuk menyembunyikan kentongan
atau benda apa saja yang bisa dipukul. Tujuannya adalah untuk mengusir
kala Rahu yang menelan bulan. Mitos ini tertuang dalam sebuah purana
yang kemudian menjadi sebuah dongengnya yang sangat populer.
Makna
yang terkandung dalam mitologi tersebut adalah jika seseorang belum bisa
melepaskan sifat-sifat keraksaannya maka dia belum boleh mendapatkan
keabadiaan. Sang Kala Rahu yang tidak sabar menunggu giliran akhirnya
kehilangan tubuhnya. Sedangkan Dewa Chandra yang menjadi sasaran
kemarahan sang Kala Rahu harus mengunggu akibatnya. Dimana jika terjadi
gerhana, maka dunia akan mengalami bencana atau musibah.
Oleh para Ilmuwan gerhana disorot sebagai peristiwa alam biasa dan tidak perlu dibesar-besarkan. Namun
bagi umat Hindu dan bagi kalangan penganut supranatural dan kebathinan,
gerhana bulan tetap harus diwaspadai, dengan selalu eling dan waspada,
karena setelah terjadinya gerhana kerap kali terjadi peristiwa-peristiwa
alam yang tak terduga.
Sarana Pemujaan
Pada
waktu melakukan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, pada
setiap hari Purnama umat dapat mempersembahkan upakara berupa: daun,
bunga, buah dan air yang ditata sedemikian rupa menjadi sebuah sesaji atau banten , dan atau juga dengan mempersembahkan canang sari yang
merupakan simbol mempersembahkan karma wasana dalam bentuk pikiran,
kata-kata dan berbagai jenis perbuatan kehadapanNya baik itu pada
kehidupan yang terdahulu, sekarang maupun yang akan datang.
Persembahan upakara ini tentu harus dilandasi dengan perasaan kasih
yang tulus, sebagai wujud bhakti kepadaNya. Perbedaan dalam hal bentuk
sesajen atau banten, sesungguhnya hanyalah kulit luarnya saja, namun
makna yang terkandung didalamnya tetap sama. Perbedaan bentuk sesajen
atau banten di tiap-tiap daerah tentu tidak bisa lepas dari konsep Desa,
Kala, Patra. Yang terpenting adalah jangan sampai menyia-nyiakan
kesempatan pada saat Purnama untuk melakukan pemujaan kepada Ida Sang
Hyang Widhi Wasa / Sang Hyang Chandra, dengan bhakti yang mendalam,
dengan hati penuh kelembutan, kewaspadaan, dan kewaskitaan. Senantiasa
eling dan waspada, sehingga tidak terpengaruh oleh nafsu-nafsu jahat
dalam diri dengan cara sujud dan bhakti kepadaNya.
Jika seseorang sudah dipenuhi dengan kebhaktian yang tulus maka
nafsu-nafsu jahat akan sulit mempengaruhinya. Namun demikian sebagai
bahan acuan untuk masing-masing Rumah Tangga, dapat menggunakan upakara sebagai berikut:
a. Pelinggih Pokok (Padmasasri, Rong Tiga): Pejati (Daksina, Peras, Soda, Tipat Kelanan, Penyeneng, Pasucian, Canang Sari)
b. Pelinggih Lainnya (Penunggu Karang, piyasan, dsb) : Sode / Ajuman + Canang Sari
c. Sor dan di Lebuh : Segehan Cacahan
Purnama dan Jati Diri
Umat
Hindu meyakini Bahwa kelahirannya di dunia ini tidak terlepas dari
pengaruh karma masa lalunya. Sisa- sisa karma dimana hidup yang
terdahulu disebut dengan karma wasana. Maka
pada saat Purnama ini kita juga hendaknya mengadakan pembersihan secara
lahir bathin. Karena itu, disamping bersembahyang mengadakan puja
bhakti kehadapan Hyang Widhi untuk memohon anugrahNya, juga kita
hendaknya mengadakan pembersihan dengan air (mandi yang bersih). Menurut
pandangan Hindu bahwa air merupakan sarana pembersihan yang amat
penting di dalam kehidupan manusia. Air disamping merupakan sarana
pembersih, juga sebagai pelebur kekotoran.
Adbhirgatrani suddhyati, manah satyena suddhyati
vidyatapobhyam bhutatma, buddhir jnanena suddhyati
Tubuh
dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran, jiwa
manusia dengan pengetahuan (pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan
dengan kebijaksanaan (pengetahuan) yang benar. (Manavadharmasastra V.109).
Kondisi
bersih secara lahir bathin di dalam kehidupan ini sangat perlu, karena
di dalam tubuh dan jiwa yang bersih akan muncul pemikiran, perkataan dan
perbuatan yang bersih pula, sehingga tercapai kebahagiaan baik di dunia
maupun di akhirat. Jadi kebersihan sangat penting artinya untuk bisa
tercapai suatu kebahagiaan, lebih-lebih dalam hubungannya dengan
pemujaan kepada Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Suci), maka kebersihan
(kesucian) secara lahir bathin merupakan syarat mutlak.
Renungan
Namun
demikian kepercayaan akan adanya peristiwa yang tak diharapkan tetap
terus diwaspadai. Purnama memberi kesempatan seluas-luasnya pada umat
manusia untuk melakukan ritual pemujaan. Pengendalian diri dan pendidikan budi pekerti. Hendaknya
hari suci purnama betul-betul dimanfaatkan untuk memupuk nilai-nilai
keimanan dalam diri setiap orang, dan orang yang berilmu pengetahuan
hendaknya seperti Bulan Purnama memberi kesejukan dan penerangan bagi
semuanya.
Purnama
hari yang identik dengan kesucian, keharmonisan, kegembiraan. Bulatkan
tekad dan niat untuk selalu berada di jalan yang lurus, percaya diri
bahwa Sang Hyang Widhi Wasa akan senantiasa membimbing umatNya menuju ke
alam yang Sunyata, alam yang tidak ada konflik , alam kebebasan , alam
kebahagiaan Illahi. Pastikan Beliau senantiasa hadir di tengah-tengah
pemujaNya. Lakukan pemujaan dengan setulus-tulusnya. Dia yang dipuja
turut memuja, memberkati dengan rahmatNya, dengan senyum manisnya dengan
kasih sayangNya. Dia yang tulus, meluluskan permohonannya dengan
karunia dan kebijaksanaannya. Dia yang berbhakti, terberkati dengan
karunia yang berlimpah. Dia yang menghibur, terhibur dengan alunan musik
surgawi dan kedamaian. Dia yang mempersembahkan kidung perdamaian,
memperoleh anugerah Shanti di hatinya, dan kasih sayang yang tulus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar