Senin, 04 Maret 2013

MAKNA PELINGGIH TAKSU DI MERAJAN

Indriyani parany ahur
indriyebhyah param manah.
manasas tu para budhir
yo buddheh pratas tusah.
(Bhagawad Gita Gita IV.42).

Maksudnya:

Sempurnakanlah indriamu, tetapi kesempurnaan indria berada di bawah kesempurnaan pikiran, kekuatan pikiran berada dalam pencerahan kesadaran budhi. Yang paling suci adalah Atman.

MEMELIHARA kesehatan indria agar dapat berfungsi secara sempurna merupakan upaya hidup sehari-hari yang wajib dilakukan. Indria tersebut adalah alat untuk dapat kita merasakan adanya suka dan duka dalam kehidupan ini. Cuma indria yang sehat sempurna itu harus digunakan di bawah kendali pikiran yang cerdas. Kecerdasan pikiran itu dilandasi oleh kesadaran budhi yang bijaksana. Struktur diri yang demikian itulah yang akan dapat mengimplementasikan kesucian Atman dalam wujud perilaku.

Indria, pikiran dan kesadaran budhi yang mampu menjadi media kesucian Atman itulah yang menyebabkan orang disebut mataksu dalam hidupnya. Kata ''taksu'' berasal dari kata ''aksi'' artinya melihat. Melihat itu dengan cara pandang yang multidimensi itulah menyebabkan orang disebut mataksu. Melihat sesuatu tidak hanya dengan mata fisik saja. Pandangan mata fisik itu dianalisis oleh pandangan pikiran yang cerdas dan dipandang dengan renungan rohani yang mendalam. Cara pandang yang demikian itulah yang akan dapat melihat sesuatu dengan multidimensi. Penglihatan yang multidimensi itulah menyebabkan orang mataksu.

Tempat pemujaan sebagai Ulun Karang atau hulunya rumah tempat tinggal bagi umat Hindu di Bali umumnya disebut Merajan atau Sanggah Merajan. Di tempat pemujaan yang disebut Merajan Kamulan itu ada salah satu pelinggihnya disebut Taksu. Pelinggih Kamulan umumnya didirikan di leret timur dari areal Merajan hulu pekarangan. Pelinggih Kamulan itulah sebagai pelinggih utama. Sebutan lain dari Merajan tersebut adalah Kemulan Taksu atau juga disebut Pelinggih Batara Hyang Guru.

Menurut Lontar Purwa Bhumi Kamulan, Atman yang telah mencapai tingkat Dewa Pitara atau Sidha Dewata distanakan di Pelinggih Kamulan. Lontar Gayatri menyatakan orang yang meninggal rohnya disebut Preta. Setelah diupacarai ngaben rohnya disebut Pitara. Selanjutnya dengan upacara Atma Wedana barulah disebut Dewa Pitara.

Menurut Lontar Siwa Tattwa Purana ada lima jenis upacara Atma Wedana berdasarkan besar kecilnya upacara yaitu: Ngangsen, Nyekah, Mamukur, Maligia dan Ngeluwer. Setelah roh diyakini mencapai status Dewa Pitara inilah ada prosesi upacara yang disebut upacara Dewa Pitra Pratistha. Umat Hindu di Bali umumnya menyebutnya upacara Nuntun Dewa Hyang atau juga disebut Ngalinggihan Dewa Hyang di Pelinggih Kamulan. Karena itulah berbagai lontar menyatakan bahwa Pelinggih Kamulan sebagai stana Sang Hyang Atma.

Di leret utara dari areal tempat pemujaan Merajan salah satu pelinggihnya ada yang disebut Pelinggih Taksu. Karena itu tempat pemujaan Ulun Karang itu juga disebut Pelinggih Kamulan Taksu. Dalam Lontar Angastya Prana ada diceritakan bahwa saat jabang bayi ada dalam kandungan berada dalam pengawasan Dewa Siwa. Setelah ada sembilan bulan lebih jabang bayi tersebut ada dalam kandungan maka Dewa Siwa minta agar jabang bayi itu lahir ke dunia.

Diceritakan jabang bayi itu takut lahir ke dunia. Mengapa takut, karena hidup di dunia itu banyak penderitaan yang akan dialami. Ada angin ribut, ada gempa, ada gunung meletus, ada kelaparan, ada banjir, ada perang dan banyak lagi ada hal-hal yang membuat orang menderita. Atas jawaban jabang bayi itu Dewa Siwa menyatakan bahwa engkau tidak perlu takut hidup di dunia, nanti saudaramu yang empat itu akan membantu kamu mengatasi segala derita.

Untuk itu kamu harus minta bantuan kepada saudaramu yang empat itu yang disebut Catur Sanak. Catur Sanak itu adalah ari-ari atau plasenta, darah, lamas dan yeh nyom. Empat hal itulah yang melindungi dan memelihara secara langsung sang jabang bayi dalam kandungan ibunya. Kedokteran dapat menjelaskan secara ilmiah apa fungsi keempat unsur yang melindungi bayi dalam kandungan ibunya itu.

Diceritakan secara mitologi dalam Lontar Angastia Prana sang jabang bayi bersedia minta tolong pada Sang Catur Sanak. Permintaan jabang bayi itu disanggupi oleh Sang Catur Sanak dengan catatan agar setelah lahir ke dunia sang bayi tidak boleh lupa dengan dirinya. Dengan kesepakatan itu Sang Catur Sanak mendorong sang jabang bayi lahir ke dunia.

Setelah sang bayi dan Catur Canak sama-sama lahir ke dunia, keduanya mendapatkan perlakuan sekala dan niskala. Setiap bayi diupacarai secara keagamaan. Sang Catur Sanak pun ikut serta diupacarai. Nama Sang Catur Sanak berubah menjadi seratus delapan kali. Demikianlah sampai sang bayi meningkat dewasa, tua dan sampai meninggal.

Saat bayi baru lahir Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana nasi kepel empat kepel. Saat sudah meninggal roh atau Atman dipreteka dengan upacara ngaben, saat itu Catur Sanak mendapatkan upacara dengan sarana beras catur warna. Sampai upacara Atma Wedana dan roh mencapai Dewa Pitara distanakan di Pelinggih Kamulan, maka Catur Sanak distanakan di Pelinggih Taksu. Karena itulah tempat pemujaan di Ulun Karang itu disebut Kamulan Taksu sebagai Batara Hyang Guru.

Dalam Vana Parwa 27.214 dinyatakan ada lima macam Guru. Atman adalah satu dari lima guru yang dinyatakan dalam Vana Parwa tersebut. Pendirian tempat pemujaan keluarga di Ulun Karang tempat tinggal adalah sebagai prosesi untuk menstanakan Atman sebagai Batara Hyang Guru dalam kehidupan keluarga inti bagi umat Hindu di Bali.

Dengan adanya Pelinggih Taksu sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam Merajan Kamulan inilah ada suatu nilai spiritual yang patut dipetik sebagai penuntun hidup di bumi ini. Dengan adanya Pelinggih Kamulan Taksu ini dapat dikembangkan suatu pandangan bahwa bagaimana konsep taksu dari sudut pandang Hindu dalam sistem budaya spiritual di Bali. Dengan konsep yang benar itulah kita jaga taksu Bali ke depan untuk menghadapi pergolakan kehidupan global yang semakin dinamis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar