PRASASTI DE ANGLURAH KEDANGKAN
TOSNING IDA ANGLURAH KEDANGKAN
Om Awignamastu Namasidem
Inilah
Prasasti Ida Anglurah Kedangkan di Desa Selisiban Klungkung, sebagai
putra dari Sang Wira Dangka, keturunan dari Sang Sapta Rai, yang paling
bungsu Ida Mpu Dangka, putra dari Ida Mpu Gnijaya sebagai keturunan
Brahmana Jati.
Pengaksama
/ permakluman kami kehadapan Betara Hyang Mami yang bergelar Omkara
Hradaya Namab Swaba, Suhia Loka, Sida Loka Suara Anugrahkanlah hamba/
ijinkan hamba menceritakan segala masa lalu yang telah menyatu dengan
Hyang Widhi, Om Bhur, Bwah, Swah semoga tidak berdosa, terikat usana,
semoga tidak alpaka dari penciptaan Sang Hyang purwa Tatwa, begitu juga
dengan seketurunan hamba, bebaskanlah hamba dari alpaka kehadapan Ida
Hyang Widhi, maka wigraha mala papa petaka, bisa terbebas dari kutukan
Sang Hyang Widhi, membicarakan masa lalu, sekarang dan yang akan datang,
juga menemukan kebahagiaan sekala niskala / lahir bathin, anugrahkanlah
hamba agar sempurna menemui panjang umur, kebahagiaan untuk keluarga
dan alam semesta.
Inilah
sebagai awal cerita, dahulu kala saat belum ada apa-apa, tidak ada
Matahari, Bulan, Bintang, Bumi, hanya ada Sang Hyang Embang Maha
Tunggal, besar tetapi kecil, tidak ada tetapi ada, Nirak satah Suda Dewa Ika,
Sang Hyang Tunggal, berwarna tetapi tidak, ada nafsu/keinginan dan
ketergantungan, ada penuh atmosfer / udara yang diberi nama Widhi Tatwa,
Purana Dewa Tatwa, juga Aksara utama bernama Windu (o), berwujud Sang
Hyang Widhi, bunyinya seperti telinga ditutup, Windu juga Sang
Hyang Kawi, Windu juga hampa, juga kosong tetapi penuh ada dimana-mana
tanpa awal dan akhir, berstana / bertempat di Cakra Sunia Maha Widhi,
bergelar Sang Hyang Widhi, maha Tahu, Maha Karuni / pengasih, Maha Metri
/ penyayang lalu beliau mengadakan yoga semedi, dari yoga beliau
muncullah atau lahirlah Sang Hyang Licin bernama Sang Hyang Eka Aksara ( )
selanjutnya Sang Hyang Eka Aksara juga beryoga menurunkan Sang Hyang
Purusa Pradana, bergelar Sang Hyang Aksa, Pertiwi bergelar juga Rwa
Bineda, Dwi Aksara Ang, Ah, selanjutnya Sang Hyang Purusa lan Pradana
beryoga timbul / lahirlah Sang Hyang Tri Purusa bergelar Siwa, Sada
Siwa, Parama Siwa, bergelar juga Sang Hyang Tri Aksara : Ang, Uang, Man,
lama kelamaan juga melakukan yoga semedi, lalu muncullah Hyang Catur
Purusa bergelar Sang Catur Windu Dewa diantaranya : Pertama, Sang Hyang
Amurwa Sakti, Kedua, bergelar Sang Hyang Sakti Sapta Kedua, ketiga
bernama Sang Hyang Surya Rsi Wu dan yang terakhir / keempat, Bergelar
Sang Hyang Guru Pasupati, dahulu kala saat ada sakti tak terkalahkan,
tidak berstana, menyeramkan, bertaring mengkilap seperti raksasa, loba,
momo, moha, murka, De Pemescian serba banyak, Atita yata yata winaburu udan taber, setelah
beliau meninggal berpulang ke surga, setelah itu diperintahkan untuk
menjelma kembali menjadi manusia, dianugrahi / diciptakan sebagai laki
dan perempuan, sesudah masuk kedalam kelapa gading diputar dengan Weda,
setelah dibersihkan selayaknya bertapa di tengah Gunang Tohlangkir, agar
mamuja Betara Pasupati saat turun ke Bali, sebagai penghulu Bumi /
Tanah Bali, lalu dibagi oleh Sang Hyang Guru Pasupati di Gunung
Mahameru, kenapa demikian karena Bali pisah dengan Bumi Selaparang /
Lombok, kenapa demikian terkadang menyatu terkadang berpisah begitulah
ceritanya dahulu.
Inilah
Gunung di Bali pada zaman dahulu, ada empat Gunung yang dibuat oleh
Betara Hyang Pasupati yaitu di sebelah timur ada Gunung Lempuyang, di
sebelah selatan ada Gunung Andakasa, di sebelah barat ada Gunung
Watukaru, di sebelah utara ada Gunung Beratan, itu lah yang menyebabkan
bumi Bali tidak seimbang / terombang ambing, itulah sebabnya Betara
Hyang Pasupati memotong Gunung Semeru, karena kasihan melihat Bali dan
Lombok, segera dipotong Gunung tersebut aka diturunkan di Bali dan
Lombok (Seleparang), Sibedawang Nala diperintahkan oleh Betara Pasupati
sebagai dasar bumi, Sang Naga Antaboga dab Baga Basukih bertugas sebagai
tali pengikat, Sang Naga Taksaka menerbangkan membawa ke Bali, yang
diperintahkan oleh Sang Hyang Guru Pasupati.
Singkat cerita Gunung Semeru dibawa ke Bali pada hari kamis, Kliwon wuku Merakih, panglong ping 15 (limabelas) Sasih Karo, tenggek satu (1) icaka warsa Eka Tang Bumi (11).
Lama
kelamaan setelah berusia 70 hari, Jumat Kliwon, waktu Tolu Sasih Kelima
tanggal 4 (empat) rab penenggek 2 (dua) terjadilah hjan lebat disertai
petir, gemuruh gempa bumi yang sangat besar. Gempa tersebut selama 2
(dua) tahun, icaka warsa 113 meletuslah Gunung Tohlangkir, muncul Ida
Hyang Putranjaya diikuti oleh adiknya Betari Dewi Danuh, turun di
Besakih bergelar Betara Hyang Maha Dewa, sedangkan adik beliau yang
bergelar Betari Dewi Danuh berstana di Ulun Danu Batur, sedangkan Betara
Hyang Gnijaya berstana di Gunung Lempuyang Luhur. Pada saat perjalanan
beliau Betara Tiga yang diperintah oleh Hyang Guru Pasupati beginilah
sabdanya :
Anakku
Maha Dewi Danuh dan Gnijaya sekarang turunlah kalian ke Bali Raja /
Tanah Bali dan sejahterakanlah Bumi Bali, kalian sebagai penghulu Bumi,
begitu sabda Sang Hyang Guru Pasupati.
Lalu
pergilah Betara Hyang Tri Purusa, tetapi ada permintaan dari Betara
Tiga, daulat Hyang Betara karena kami masih anak-anak, belum tahu
apa-apa, demikianlah perkataan Betara Tiga, kemudian di jawab oleh
Betara Hyang pasupati, jangan kawatir anakku, akau merestui kalian,
sebab kalian adalah anak-anakku, kalian akan dipuja di Bali, setelah itu
dibungkuslah Betara Tiga dengan kelapa gading oleh Sang Hyang Guru
Pasupati dengan kesaktiannya, setelah itu beranjaklah Betara Hyang Tiga,
terlihat di angkasa perjlanan beliau.
Selanjutnya
turun juga di Bali Sang Catur Hyang Betara yang juga putra Hyang Betara
Pasupati di antaranya : Yang Betara Tumuwub berstana di Gunung Batukaru
/ Watukaru, Hyang Betara Manik Gumawang berstana di Gunung Beratan,
Betara Hyang Manik Galangberstana di Pejeng, sedangkan Betara Hyang Tugu
berstana di Gunung Andakasa, begitulah adanya Betara dahulu.
Lama
kelamaan pada hari selasa kliwon Julungwangi, sasih Karo tanggal 1
(satu) rab 8 (delapan), tenggek 1 (satu) icaka warsa 118, lalu beryoga
Betara Maha Dewa beserta Betara Hyang Gnijaya meletuslah kembali Hyang
Toblangkir, timbullah lautan api dari payogan Ida Betara Hyang Gnijaya
dinamai aliran api / bah geni, lalu muncullah dari Panca Bayu / kekyatan
Ida Betara Hyang Gnijaya bernama Ida Mpu With a Dharma (Sri Maha Dewa)
Sang Hyang Sidi Mantra Dewa Sangkul Putih dan yang terkecil bernama
Ratuning Madura. Ida Mpu With a Dharma selanjutnya beryoga, kemudian
lahirlah dua putra dari kekuatan yoga / batin beliau yang pertama Ida
Mpu Brajastawa, (Mpu Wira Dharma), dan yang kedua Ida Mpu Dwi Jendra
(Mpu Raka Kerta), lalu Mpu Dwijendra beryoga lahirlah dua orang putra
beliau yang pertama bernama Gagakin (Bubuksah) yang kedua bernama Brahma
Wisesa, lalu Brahma Wisesa beryoga semedi lahir dua orang putra beliau
yang pertama Sira Mpu Dangring dan Sira Mpu Saguna. Lama kelamaan Sira
Mpu Saguna beryoga semedi berputra lelaki bernama Sira Mpu Kepandeaan.
Selanjutnya Mpu Kepandean berputra bernama Lurah Kepandean inilah yang
menurunkan Maha Semaya Warga Pande di seluruh Bali.
Sekarang direncanakan kembali Mpu Brajastawa beryoga semedi, muncullah
putra beliau laki bernama Ida Mpu Tanuhun atau disebut juga Ida Mpu
Lapita, selanjutnya Ida Mpu Lampita beryoga semedi lahirlah 5 (lima)
putra beliau diantaranya : pertama bernama Brahmana Pandita, kedua Mpu
Semeru / Mpu Maha Meru, ketiga Mpu Gana, Keempat Mpu Kuturan (Mpu Raja
Kerta), kemudian yang paling bungsu bernama Mpu Paradah (Mpu Baradah).
Demikianlah lima
bersaudara tersebut disebut Sang Panca Pandita, Panca Tirta, dan juga
disebut Panca Dewata. Lalu Sang Panca Pandita pulang kembali ke Gunung
semeru, di sana beliau beryoga semedi memuja Sang Hyang Guru Pasupati sebagai leluhur beliau.
Sekarang
diceritakan kembali dari yoga Betara Hyang Maha Dewa, lahirlah dua
orang putra beliau yang pertama Batara Gana, kedua Dewi Manik Gni lalu
mereka berdua beryoga di Gunung Semeru.
Demikianlah
diceritakan para Mpu lahirnya di Bali, yang selanjutnya mengadakan tapa
berata / yoga tapa berata di Gunung Semeru, tidak diceritakan selama
beliau di Gunung Semeru. Betari Dewi Manik Gni diperistrikan oleh Sang
Brahmana Pandita, setelah Apudgala bergelar Ida Mpu Gnijaya Sakti.
Diceritakan
setelah beberapa lama beliau disana, maka ada sabda beliau Betara Hyang
pasupati kepada Sang panca Pandita beginilah sabdanya :……………………
Kembali
kecerita awal, Ida Mpu Gnijaya berputra 7 (tujuh) orang laki-laki
disebut Sanak Sapta Pandita diantaranya : pertama, Ida Mpu Ketek, kedua
Ida Mpu Kananda, ketiga Mpu Wiradnyana, keempat Mpu Witha Dharma, kelima
Mpu Raga Runting, keenam Mpu Prateka, dan ketujuh Mpu Dangka. Sekalian
beliau bertempat di Kuntulikutanah Jawa sekarang diceritakan Betara
Hyang Pasupati bersabda kepada Mpu sekalian : wahai cucuku sekalian
turunlah kalian ke Bali mengadakan yoga
semedi, maka sepakatlah para Mpu sekalian. Lalu turunlah Mpu Semeru,
perjalnan beliau tanpa halangan di Desa Kuntul Geding / Kedisan setelah
lewat Gunung Tuluk Biyu tibalah di Besakih, menghadap Betara Putranjaya
(Sri Maha Dewa) dan tak jarang pulang pergi ke Jawa dan ke Bali.
Sekarang
diceritakan pada pemerintahan Sri Guna Priya Darma Patni (darma Udayana
Warmadewa) di Bali pada tahun caka 910 sampai 922. Ida Mpu Catur Sanak
di mohon turun ke Bali diantaranya. Ida
Mpu Semeru / Mpu Mahameru pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut, Palguna
(purnama kaulu) tahun caka jadma Siratmaya Muka, 921 Beliau penganut
Siwa Paksa, lalu berstana di Besakih. Ida Mpu Gana tiba di Bali
pada senin Kliwon Kuningan tanggal ke 7 (tujuh) tahun caka 922, beliau
menganut Ganapati, lalu berpariyangan / berstana di Gelgel sekarang
bernama Pura Dasar Buana Gelgel. Ida Mpu Kuturan (Mpu Raja Kerta) tiba
di Bali pada hari rabu, Kliwon Pahang tahun caka 923, beliau menganut
Buda Mabayana lalu berstana di Desa Padang sekarang diceritakan yang
paling akhir tiba di Bali Ida Mpu Gnijaya pada hari kamis Umanis
Dungulan Waisaka Masa, Prati pada Sukla tahun caka 928 beliau menganut
Brahma Yana, lalu berpariyangan / berstana di pura Lempuyang Madya.
Sedangkan adik Beliau yang bungsu Ida Mpu Pradab tidak ikut turun ke Bali, beliau berstana di tanah Jawa di Lembah Tulis Pejarakan Tanah Jawa. Demikianlah ceritanya terdahulu.
Ida
Mpu Kuturan (Mpu Raja Kerta) pada saat dijaman menjadi Ratu di Girab,
setelah mengambil istri, kemudian berputrikan Diah Ratna Manggali,
karena istri beliau menganut ilmu hitam, yang disebut Anesti Aneluh
Anaranjana, sedangkan Ida Mpu Kuturan melaksanakan Darma Kepanditaan,
menyebabkan istri dan Putri Beliau di tinggalkan di tanah Jawa. Istrinya
dijuluki Janda / Rangda Nata Ing Girah. Ida Mpu Kuturan di Bali oleh
Raja di Nobatkan menjadi Senopati, juga sebagai ketua pakira-kira Ijero
Mekabehan, kemudian beliau mengadakan rapat / pertemuan agung di Bata
Anyar. Pertemuan inilah yang melahirkan Desa Pekraman, aturan –aturan
perhiyangan, kayangan tiga Pura Desa (Bale Agung). Pura Puseh, Pura
Dalem di masing-masing Desa Pekraman sekarang disebut Desa Adat, dan di
masing-masing perumahan sepatutnya dibangun pelinggih Rong Tiga, lama
kelamaan disebut Hyang Kemulan tempat memuja leluhur. Kemudian agama
disebut Siwa Budha yang dianut oleh masyarakat Bali, sehingga bersatulah
rakyat Bali. Semua itu berkat karya Ida Mpu Kuturan yang lahir pada pesamuan agung agama tersebut.
Inilah putra dari Ida Mpu Gnijaya Sang Sapta Sanak, semua telah mengambil isteri di tanah Jawa diantaranya :
1. Ida Mpu Ketek ……..
2. Ida Mpu Kananda…….
3. Ida Mpu Wiradnyana …..
4. Ida Mpu With a Dharma…..
5. Ida Mpu Raga Runting ……
6. Ida Mpu Prateka ….
7. Ida
Mpu Dangka beristri putrid dari Ida Mpu Sumedang, lalu beliau mempunyai
putra : Ida Mpu Wiradangkya. Ida Mpu Wiradngkya beristrikan Ni Dewi
Sukerthi, mereka mempunyai putra dan putrid bernama : Sang Wira Dngka,
Ni Ayu Dangkida Ni Ayu Dangka beliau berstana di bumi Daha tanah Jawa.
Diceritakan Sang Wira Dangka beristrikan Ni Ayu Kamareka kemudian beliau
turun ke jagat Bali. Di Bali mereka
menurunkan / melahirkan tiga (3) orang putra yang pertama De Lurah Pasek
Gaduh beliau di Desa Peminggir Gegel Klungkung yang kemudian menurunkan
Pasek Gaduh di seluruh Bali, yang kedua bernama De Pasek Lurah
Ngukubin, beliau berstana di Desa Ngukuh, Peraupan, Peguyangan,
Denpasar, yang kemudian menurunkan pasek ngukuhin di seluruh Bali.
Kemudian yang paling bungsu bernama Ida Anglurah Kedangkan, beliau
berstana di Banjar Kawan, Desa Selisihan, Kabupaten Klungkung, demikianlah keturunan Ida Mpu Dangka di seluruh Bali.
Sekarang
diceritakan Ida Anglurah Kedangka pada pemerintahan Sri Gajah Wahana
pada hari senin Umanis, wuku Sungsang, sasih Karo tahun caka 1257, Ida
Anglurah kedangkan dinobatkan menjadi Amanca Bumi mengawasi Desa
Selisihan, Desa Banjarangkan, Klungkung sampai wilayah Desa Taro
Gianyar.
Diceritakan
sekarang pada saat pemerintahan Sri Kresna Kepakisan sebagai raja di
bali tahun 1272 beliau berstana di Samplangan Ida Anglurah Kedangkan di
nobatkan menjadi Panglima Dulang Mangap olah Sri Kresna Kepakisan.
Diceritakan
kembali para pasek setelah masing-masing memiliki keturunan,
masing-masing memegang kekuasaan, memegang panugrahan Ida Dalem.
Langgeng pemerintahan Ida Dalem disertai oleh pasek. Lama kelamaan Ki
Pasek Gelgel beserta saudara-saudaranya berniat pamit kepada Dalem, Ida
Dalem mengijinkan, beliau pasek gelgel berbincang-bincang dengan
saudara-saudaranya, lalu disetujui oleh saudara – saudaranya disertai
oleh pengikutnya, Ida Anglurah Kedangkan setuju
dengan Ki Pasek Gelgel. Setelah meninggalkan Dalem tidak diceritakan
perjalanan pasek sekalian menuju beringin kembar di barat laut yang
terlihat dari Bukit. Tidak diceritakan
perjalanan beliau tibalah di tengah hutan di sebelah barat tukad jinah,
lalu membuat Desa di sana juga beliau mendirikan pura sebagai tempat
pemujaan ke Besakih dan ke Lempunyang. Tak lupa
beliau beryoga ada panugrahan dari Ida Hyang Betara, muncullah mata air
besar, bening berkilau, laksana bulan yang kemudian diberinama Toya Bulan sampai sekarang. Lalu beliau beryoga di puncak Gunung dan membangun perbiyangan sehingga ada Pura Puncak sampai sekarang.
Diceritakan
kiyai Agung Pasek Gelgel melanjutkan perjalanan menuju pohon kembar,
lalu dijumpai hutan EE, hutan tersebut dibabat oleh Kiyai Pasek gelgel.
Sebab Hutan tersebut angker dan di huni oleh Raksasa, disana beliau
berperang melawan raksasa, yang kemudian tewaslah raksasa, hutan
tersebut dibabat di jadikan sebuah Desa bernama Desa Aan sampai
sekarang.
Di sana
Kiyai Igusti Agung Pasek Gelgel beserta putra dan pengikutnya berstana
di Desa Aan. Sekarang Ida Anglurah Kedangka setelah lama ditempat itu
berbicang-bincang para pengikutnya, karena tempat ini luas dan
penduduknya jarang, sebagian besar ke Aan mengikuti Kiyai Gusti Agung
Pasek Gelgel yang kemungkinan tidak kembali lagi. Diceritakan Ida
Anglurah kedangka membagi Desa tersebut menjadi sawah, bukit dijadikan
tegalan, dan juga Desa, oleh karena itu Desa tersebut diberi nama Desa
Selisihan (Membagi) lalu membangun parhyangan paibon tempat memuja
leluhur Ida Mpu Dangka sebagai kawitan pasek Dangka sampai sekarang.
Diceritakan
sekarang Ida Anglurah Kadangka menurunkan 5 (lima) putra diantaranya :
pertama Pasek Dangka Taro, berstana di Desa Taro Tegalalang, Kabupaten
Gianyar, kedua bernama Pasek Dangka Penida, berstana di Banjar Penida
Kaja, Desa Penida, Kecamatan Tembuku, Bangli, ketiga bernama Pasek
Gangka Banjarangkan beliau berstana di Banjar Dukuh Nyalian, Banjarngkan
Klungkung, sedangkan yang paling bungsu / kelima bernama Pasek Dangka
Selisihan, beliau tetap tinggal di Selisihan, merawat / menjaga
leluhurnya yaitu di Banjar Kawan Desa
Selisihan, Kabupaten Klungkung. Itulah para putra Ida Anglurah Kedangka
dan tidak diceritakan perjalanan dari mereka tentang telah menurunkan
putra yang tinggal di seluruh Bali bahkan di seluruh Indonesia.
Dicoba untuk disadur / diartikan
kedalam bahasa Indonesia
tanggal, 19 Mei 2009.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar