Berbeda
dengan candi-candi di Jawa, candi, atau yang di Bali
disebut pura, merupakan bagian dari kehidupan masyarakat
Bali yang mayoritas beragama Hindu. Pura di Bali merupakan
tempat pemujaan umat Hindu. Setiap keluarga Hindu memiliki
pura keluarga untuk memuja Hyang Widhi dan leluhur
keluarga, sehingga pura di Pulau Bali jumlahnya
mencapai ribuan.
Pura Kahyangan Desa. Setiap desa umumnya
memiliki tiga pura utama yang disebut Pura Tiga
Kahyangan atau Pura Tri Kahyangan (tri = tiga), yaitu
pura-pura tempat pemujaan Sang Hyang Widi Wasa dalam
tiga perwujudan kekuasaan-Nya: Pura Desa untuk
memuja Dewa Brahma (Sang Pencipta), Pura Puseh untuk memuja
Dewa Wisnu (Sang Pemelihara), dan Pura Dalem untuk memuja Dewa
Syiwa (Sang Pemusnah). Pura Desa disebut juga Bale
Agung, karena pura yang umumnya terletak di pusat
desa ini juga digunakan sebagai tempat melaksanakan
musyawarah desa.
Pura Kahyangan Jagat. Pura Kahyangan
merupakan tempat masyarakat umum memuja Ida Sang
Hyang Widi Wasa dalam berbagai perwujudan-Nya dan
juga tempat memuja roh para leluhur. Yang termasuk
dalam kaetgori Pura Kahyangan Jagat, di antaranya,
ialah Pura Sad Kahyangan (sad = enam), yaitu pura
yang berada di enam lokasi Kahyangan besar di P. Bali. Pura
Sad Khayangan terdiri atas: Pura Luhur Uluwatu, Pura
Lempuyang, Pura Goa Lawah, Pura Watukaru, Pura Bukit
Pengalengan dan Pura Besakih. Pura Sad Kahyangan diyakini
sebagai sendi spiritual Pulau Bali dan merupakan pusat
kegiatan keagamaan.
Selain Pura Sad Kahyangan, yang termasuk
dalam kategori Pura Kahyangan Jagat adalah Pura
Dhang Kahyangan, yaitu pura yang dibangun oleh
pemimpin spiritual pada masa lalu. Sebagian besar
Pura Dhang Kahyangan mempunyai kaitan erat dengan Dhang
Hyang Nirartha, seorang pedanda (pendeta Hindu) dari Kerajaan
Majapahit. Pada zaman pemerintahan Dalem Waturenggong,
sekitar tahun 1411 Saka (1489 M), Dhang Hyang
Nirartha yang juga dikenal dengan sebutan Dhang Hyang
Dwijendra, mengadakan yatra (perjalanan spiritual)
keliling Bali, Nusa Penida dan Lombok. Di beberapa
tempat yang disinggahi Dhang Hyang Nirartha
dibangunlah beberapa pura, seperti Pura Uluwatu, Pura Rambut
Siwi, dsb.
Pura Luhur. Hampir setiap kabupaten di
Bali memiliki Pura Luhur (luhur = tinggi), yaitu pura
yang hari ulang tahunnya diperingati oleh umat
dengan cara menyelenggarakan piodalan yang melibatkan
ribuan orang. Pura Tanah Lot, Goa Lawah, dan Pura
Uluwatu juga termasuk dalam kategori pura luhur.
Pura Kawitan. Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga atau keturunan tokoh tertentu. Termasuk ke dalam kategori ini adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, dan Pedharman. Sejarah pura kawitan Tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Bali.
Pura Kawitan. Pura ini merupakan tempat pemujaan bagi kelompok keluarga atau keturunan tokoh tertentu. Termasuk ke dalam kategori ini adalah: Sanggah-Pemerajan, Pratiwi, Paibon, Panti, Dadia atau Dalem Dadia, Penataran Dadia, dan Pedharman. Sejarah pura kawitan Tentunya tidak dapat dipisahkan dari sejarah kerajaan-kerajaan di Bali.
Berdasarkan prasasti-prasasti yang telah
ditemukan, dapat dikatakan bahwa sejarah Bali yang
tercatat diawali pada abad ke-8 Masehi. Di antara
raja-raja Bali, yang banyak meninggalkan keterangan
tertulis yang juga menyinggung gambaran tentang
susunan pemerintahan pada masa itu adalah Udayana,
Jayapangus , Jayasakti, dan Anak Wungsu. Dalam
Prasasti Blanjong ( 913 M) yang dibuat pada masa pemerintahan
Sri Kesari Warmadewa digunakan kata ‘Walidwipa’ yang mengacu
pada suatu wilayah pemerintahan di Bali.
Pada tahun 1343, Kerajaan Majapahit
mengadakan ekspedisi ke Bali, dipimpin oleh Mahapatih
Gajah Mada dan Panglima Arya Damar. Pada masa itu
Bali dikuasai oleh Kerajaan Bedahulu dengan rajanya
Astasura Ratna Bumi Banten dan patihnya Kebo Iwa.
Bali berhasil ditaklukkan oleh Majapahit dan sejak itu
Bali merupakan bagian dari Kerajaan Majapahit. Sebagai kepala
pemerintahan di P. Bali, Majapahit mengangkat Raja Sri Kresna
Kepakisan (1350-1380 M) yang berkedudukan di Desa
Samprangan dekat kota Gianyar. Pusat pemerintahan
kemudian dipindahkan ke istana Suwecapura di Gelgel,
Klungkung.
Selama masa kejayaan Majapahit, Kerajaan
Gelgel diperintah oleh raja-raja keturunan Sri Kresna
Kepakisan. Ketika Majapahit mengalami keruntuhan,
Kerajaan Gelgel yang tidak lagi menjadi negara
jajahan tetap diperintah oleh keturunan Sri Kresna
Kepakisan. Salah satu Raja Gelgel, Dalem Waturenggong
(1460-1550 M), sangat termasyhur karena pada masa
pemerintahannya P. Bali mengalami masa keemasan. Dalem
Waturenggong memperluas wilayah kekuasaan Kerajaan Gelgel
sampai ke sebagian wilayah Jawa Timur, Lombok dan Sumbawa.
Masa keemasan Gelgel mulai memudar pada
masa pemerintahan Dalem Bekung (1550–1580 M), putra
sulung Dalem Waturenggong. Pada masa pemerintahan
Dalem Di Made (1605-1651 M), Gelgel bahkan kehilangan
wilayah Blambangan dan Bima (tahun 1633 M) dan
Lombok ( tahun 1640 M). Pada tahun 1651, terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Gusti Agung Maruti. Selama
pemerintahan dipegang oleh Gusti Agung Maruti, wilayah bawahan
Gelgel, seperti Badung, Bangli, Buleleng, Gianyar,
Jembrana, Karangsem, Mengwi dan Tabanan melepaskan
diri dari kekuasaan Gelgel dan membentuk pemerintahan
sendiri.
Pada tahun 1686 putra Dalem Di Made yang
bernama Dewa Agung Jambe merebut kembali kekuasaan
dari tangan pemberontak dan memindahkan pusat
pemerintahan ke istana Samarapura di Klungkung, namun
kerajaan-kerajaan bekas bawahan Gelgel tetap
mempertahankan kemerdekaannya. Raja Klungkung, Dewa Agung,
diposisikan sebagai pimpinan spiritual dengan gelar Susuhunan
Bali dan Lombok.
Pada tahun 1808 Jembrana ditaklukkan oleh
Raja Buleleng. Pada tahun 1818, Jembrana berhasil
direbut kembali oleh mantan Raja Jembrana, namun pada
tahun 1821 kerajaan tersebut kembali ditaklukkan
oleh Raja Buleleng. Sampai akhir abad ke-18, Bali
terpecah menjadi 8 kerajaan, yaitu : Badung, Bangli, Buleleng,
Gianyar, Karangsem, Klungkung, Mengwi dan Tabanan.
Kerajaan-kerajaan kecil ini yang mendasari pembagian wilayah
pemerintahan sebagai kabupaten-kabupaten di Bali
sekarang.
Pura Swagina. Pura ini merupakan tempat
pemujaan bagi kelompok masyarakat dengan profesi atau
mata pencarian tertentu. Sebagai contoh, Pura
Melanting adalah pura untuk para pedagang, Pura Subak
untuk kelompok petani, dsb.
Berikut Pura-pura di Bali
Pura Taman Ayun
|
Pura Taman Ayun yang terletak di Desa
Mengwi, Kabupaten Badung, sekitar 18 km ke arah barat dari Denpasar.
Pura ini sangat indah, sesuai dengan namanya yang berarti pura di taman
yang indah. Selain indah, Pura Taman Ayun juga dinilai memiliki nilai
sejarah, sehingga pada tahun 2002 Pemda Bali mengusulkan kepada UNESCO
agar pura ini dimasukkan dalam World Heritage List.
|
Pura Taman Ayun merupakan Pura lbu (Paibon)
bagi kerajaan Mengwi. Pura ini dibangun oleh Raja Mengwi, I Gusti Agung
Putu, pada tahun 1556 Saka (1634 M). Pada mulanya, I Gusti Agung Putu
membangun sebuah pura di utara Desa Mengwi untuk tempat pemujaan
leluhurnya. Pura tersebut dinamakan Taman Genter. Ketika Mengwi telah
berkembang menjadi sebuah kerajaan besar, I Gusti Agung Putu memindahkan
Taman Genter ke arah timur dan memperluas bangunan tersebut. Pura yang
telah diperluas tersebut diresmikan sebagai Pura Taman Ayun pada hari
Selasa Kliwon-Medangsia bulan keempat tahun 1556 Saka. Sampai sekarang,
setiap hari Selasa Kliwon wuku Medangsia menurut pananggalan Saka, di
pura ini diselenggarakan piodalan (upacara) untuk merayakan ulang tahun
berdirinya pura.
Pura Taman Ayun telah mengalami beberapa
kali perbaikan. Perbaikan secara besar-besaran dilaksanakan tahun 1937.
Pada tahun 1949 dilaksanakan perbaikan terhadap kori agung, gapura
bentar, dan pembuatan wantilan yang besar. Perbaikan ketiga tahun 1972
dan yang terakhir tahun 1976.
Kompleks Pura Taman Ayun menempati lahan
seluas 100 x 250 m2, tersusun atas pelataran luar dan tiga pelataran
dalam, yang makin ke dalam makin tinggi letaknya. Pelataran luar yang
disebut Jaba, terletak di sisi luar kolam. Dari
pelataran luar terdapat sebuah jembatan melintasi kolam, menuju ke
sebuah pintu gerbang berupa gapura bentar.
|
Gapura tersebut merupakan jalan masuk ke
pelataran dalam yang dikelilingi oleh pagar batu. Di
jalan masuk menuju jembatan dan di depan gapura
terdapat sepasang arca raksasa. Di sebelah kiri jalan
masuk, tidak jauh dari gerbang, terdapat bangunan
semacam gardu kecil untuk penjaga. Di halaman pertama ini
tersebut terdapat sebuah wantilan (semacam pendapa) yang
digunakan untuk pelaksanaan upacara dan juga sebagai tempat
penyabungan ayam yang dilaksanakan dalam kaitan dengan
penyelenggaraan upacara di pura.
Pelataran dalam pertama seolah dibelah
oleh jalan menuju gapura yang merupakan pintu masuk ke pelataran dalam
kedua. Di sisi barat daya terdapat bale bundar, yang merupakan tempat
beristrirahat sambil menikmati keindahan pura. Di sebelah bale bundar
terdapat sebuah kolam yang dipenuhi dengan teratai dan di tengahnya
berdiri sebuah tugu yang memancarkan air ke sembilan arah mata angin. Di
timur terdapat sekumpulan pura kecil yang disebut Pura Luhuring
Purnama.
Di ujung jalan yang membelah pelataran
pertama terdapat gerbang ke pelataran kedua.
Pelataran ini posisinya lebih tinggi dari pelataran
pertama. Tepat berseberangan dengan gerbang terdapat
sebuah bangunan pembatas, yang dihiasi dengan relief
menggambarkan 9 dewa penjaga arah mata angin. Di
sebelah timur terdapat sebuah pura kecil yang disebut Pura
Dalem Bekak. Di sudut barat terdapat balai Kulkul yang atapnya
menjulang tinggi.
Pelataran dalam ketiga atau yang terdalam
merupakan pelataran yang paling tinggi letaknya dan dianggap paling
suci. Pintu utama yang disebut pintu gelung terletak di tengah dan hanya
dibuka pada saat diselenggarakannya upacara. i kiri dan kanan pintu
utama terdapat gerbang yang digunakan untuk keluar masuk dalam
melaksanakan kegiatan sehari-hari di pura tersebut. Di pelataran ini
terdapat sejumlah Meru, Candi, Gedong, Padmasana, Padma Rong Telu, dan
bangunan-bangunan keagamaan lainnya.
Pura Uluwatu |
Pura Uluwatu terletak di Desa Pecatu,
Kecamatan Kuta, Kabupaten Badung, Bali, sekitar 30 km ke arah selatan
dari kota Denpasar. Pura Uluwatu yang juga disebut Pura Luwur ini
merupakan salah satu dari Pura Sad Kahyangan, yaitu enam Pura Kahyangan
yang dianggap sebagai pilar spiritual P. Bali.
|
|
Ada dua pendapat tentang sejarah
berdirinya pendirian Pura Uluwatu. Ada pendapat yang mengatakan bahwa
pura ini didirikan oleh Empu Kuturan pada abad ke-9, yaitu pada masa
pemerintahan Marakata. Pendapat lain mengaitkan pembangunan Pura Uluwatu
dengan Dang Hyang Nirartha, seorang pedanda (pendeta) yang berasal dari
Kerajaan Daha (Kediri) di Jawa Timur. Dang Hyang Nirartha datang ke
Bali pada tahun 1546 M, yaitu pada masa pemerintahan Dalem Waturenggong.
Sang Pedanda kemudian mendirikan Pura Uluwatu di Bukit Pecatu. Setelah
melakukan perjalanan spiritual berkeliling P. Bali, Dang Hyang Nirartha
kembali ke Pura Uluwatu. Di pura inilah Sang Pedanda ‘moksa’,
meninggalkan ‘marcapada’ (dunia) menuju ‘swargaloka’ (surga). Upacara
atau ‘piodalan’ peringatan hari jadi pura jatuh pada hari Anggara Kasih,
wuku Medangsia dalam penanggalan Saka. Biasanya upacara tersebut
berlangsung selama 3 hari berturut-turut dan diikuti oleh ribuan umat
Hindu.
|
Pura Uluwatu menempati lahan di sebuah
tebing yang tinggi yang menjorok ke Samudera
Indonesia dengan ketinggian sekitar 70 m di atas
permukaan laut. Karena letaknya di atas tebing, untuk
sampai ke lokasi pura orang harus berjalan mendaki
tangga batu yang cukup tinggi. Bangunan pura ini menghadap ke
arah timur, berbeda dengan pura lain di Bali yang umumnya
menghadap ke arah barat atau ke selatan. Di sepanjang
jalan di tepi luar pura terdapat ratusan kera yang
berkeliaran. Walaupun tampak jinak, kera-kera
tersebut seringkali mengganggu pengunjung dengan
menyerobot makanan atau barang-barang yang dikenakan.
Di ujung jalan yang mendaki terdapat dua
pintu masuk ke komplek pura, satu terletak di sebelah utara dan satu
lagi di sebelah selatan. Pintu masuk tersebut berbentuk gapura bentar
dan terbuat dari batu. Di depan gapura terdapat sepasang arca berbentuk
manusia berkepala gajah dalam posisi berdiri. Dinding depan gapura
dihiasi pahatan yang sangat halus bermotif daun dan bunga.
Di sebelah dalam, di balik gapura,
terdapat sebuah lorong berlantai batu berundak,
menuju ke pelataran dalam. Lorong terbuka ini
diteduhi oleh pohon yang ditanam di sepanjang kiri
dan kanan lorong.
Pelataran dalam merupakan pelataran
terbuka. Lantai pelataran tertutup oleh lantai batu yang tertata rapi.
Di dekat gapura, di sisi utara, terdapat bangunan kayu. Di sebelah
barat, berseberangan dengan jalan masuk, terdapat sebuah gapura
paduraksa yang merupakan jalan masuk ke pelataran yang lebih dalam lagi.
Berbeda dengan gapura luar, gapura ini
merupakan gapura beratap yang terbuat dari batu. Ambang pintu berbentuk
lengkungan dan dibingkai oleh susunan batu. Di atas ambang terdapat
pahatan kepala raksasa. Puncak gapura di berbentuk seperti mahkota dan
dihiasi dengan berbagai motif pahatan. Celah di antara gapura dengan
dinding di kiri dan kanan pelataran tertutup oleh dinding yang juga
dihiasi dengan pahatan.
Di sebelah selatan terdapat pelataran
kecil berbentuk memanjang dan menjorok ke arah laut. Di ujung pelataran
terdapat sebuah bangunan kayu yang tampak seperti tempat orang
duduk-duduk sambil memandang lautan. Sejak dibanunannya, Pura Uluwatu
telah banyak kali menjalani pemugaran. Bahkan sekitar tahun 1999,
bangunan pura ini sempat terbakar akibat sambaran petir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar